Beberapa Kekeliruan Pemahaman Terhadapa Pantun Wacana Anak
Asslamuallaikum wr,wb sahabat
Apakabarnya?
Semoga dalam keadaan sehat dan dalam lindungan ALLAH SWT.
Masih mengenai anak Melayu yang keren, begitu besar tugas orang renta terhadap anak-anaknya, bukan di orang Melayu saja, niscaya di suku-suku se Indonesia melaksanakan hal yang terbaik untuk anak-anaknya semoga menjadi yang terbaik namun disini saya lebih dahulu membahas Tentang Orang Melayu alasannya yaitu apa? Disini lah kampung halaman ku. Tercinta………….berikut ulasannya
Ditengah masyarakat selama ini banyak terjadi kekeliruan dalam menafsirkan tunjuk latih wacana jumlah anak dalam sebauah keluarga. Banyak orang berpegang kepada pandangan hidup “banyak anak banyak rezeki”. Ungkapan ini mencerminkan perilaku orang melayu yang cenderung beranak banyak, alasannya yaitu semakin banyak anak, semakin banyak pula rezeki. Ungkapan ini mengokohkan pendangan itu berbunyi “banyak anak , banyak tempat berteduh”. Selanjutnya ada lagi ungkapan yang berbunyi “banyak anak, senang bertanak”, dan sebagainya. Kalau orang mengacu kepada ungkapan-ungkapan itu, memang demikianlah kesimpulannya. Semuanya memperlihatkan perilaku hidup orang Melayu yang cenderung beranak banyak, alasannya yaitu mereka akan mendapat rezeki yang berlimpahm, tempat berteduh yang lapang, dan gampang bertanak (hidup senang). Tetapi benarkah demikian?
Dalam mengang dikaji suatu falsafah, apalagi yang dituangkan dalam bentuk ungkapan-ungkapan, sebelum disimpulkan maknanya maka terlebih dahulu haruslah dipelajari dan diteliti, apakah ungkapan itu benar atau tidak. Kalau benar, apakah ungkapan itu lengkap atau tidak. Bila lengkap, bagaimana menafsirkannya, sesuai berdasarkan sopan santun dan tradisi, serta lambang-lambang yang dipergunakan masyarakat.
Berkaitan dengan ungkapan-ungkapan diatas, sepertinya belum dilakukan kajian secara mendalam, sehingga ungkapan itu dimaknakan begitu saja, kemudian disimpulkan, bahwa orang melayu, suka beranak banyak, dan kurang “sepaham” dengan jadwal KB Nasional.
Padahal, ungkapan-ungkapan itu tidaklah lengkap. Ungkapan “banyak anak banyak rezeki” lengkap berbunyi:
“banyak anak banyak rezeki
Banyak hutang yang dibawanya
Banyak fitnah yang kan menimpa”
Jadi, jika ungkapan ini dibaca selengkapnya, tercerminlah pandangan orang melayu, bahwa jika beranak banyak, dari satu sisi sanggup mendatangkan rezeki yang banyak, disisi lain akan mendatangkan “hutang” serta “fitnah” yang banyak pula. “hutang” didalam ungkapan ini, terutama “hutang orang tua” terhadap anak, menyerupai disebutkan dalam potongan terdahulu yang telah kita bahas di artikel sebelumnya. Dan “fitnah” ialah banyak sekali kasus dan persoalan, yang lazim disebut “fitnah dunia”.
Di dalam ungkapan lain :
“yang fitnah ragam macamnya
Banyak bala yang dibawanya
Banyak celaka yang ditimpakannya”
Nah, orang Melayu di dalam falsafahnya ini memperlihatkan kesempatan orang berfikir, apaka ia mau beranak banyak dengan banyak sekali “hutang” dan “fitnah” yang menunggunya atau tidak. Alternatif ini, terutama bagi orang Melayu yang “tahu diri”, tentulah akan berfikir seribu kali sebelum ia tetapkan beranak banyak. Sanksi dan akhir dari beranak banyak, amatlah berat bagi kehidupan orang Melayu, baik kehidupan di dunia apalagi di alam abadi kelak. Dengan demikian, nampaklah bahwa orang Melayu hakekatnya tidaklah cenderung menjadi “orang”, yakni menjadi insan yang tepat lahiriah dan batiniahnya.
Ungkapan: “banyak anak, banyak tempat berteduh”, juga tidak lengkap. Ungkapan ini selengkapnya berbunyi:
“banyak anak kasus banyak
Anak bertuah menjadi “orang”
Anak celaka membawa malang
Banyak anak banyak tempat berteduh
Banyak pula tempat bergaduh
Kalau menjaga tidak sungguh
Dunia alam abadi beroleh geruh”
Bila ungkapan ini sudah dirangkaikan dalam satu kesatuannya utuh, tentulah amat berbeda maknanya dibandingkan jika hanya sepotong-sepotong saja.
Ungkapan: “banyak anak, senang bertanak” juga demikain. Lengkapnya berbunyi:
“Ada tuahnya beranak banyak
Banyak anak, senang bertanak
Ada celakanya beranak banyak
Banyak anak, orang pun kemak”
Jadi, ungkapan ini pun jika dirangkaikan dalam kesatuannya, menyuruh orang berpikir, apakah beranak banyak atau tidak. Dari satu sisi memang mendatangkan manfaat, tetapi dari sisi lain mendatangkan mudarat.
Dengan demikian, jelaskah, bahwa hakekatnya orang Melayu tidaklah mengajurkan orang beranak banyak. Diantara ungkapan itu ialah:
“banyak anak, hidup kemak”
“Banyak anak, tubuh letak”
“Banyak anak, ngap pun sesak”
“Banyak anak, kepala botak”
“Banyak anak, dada bengkak”
“Banyak anak, tidur tak nyeyak”
Ungkapan-ungkapan menyerupai ini, dahulu selalu disindirkan kepada orang-orang yang suka beranak banyak, atau menjadi keluhan bagi orang yang terlanjur beranak banyak.
Selain itu, terdapat pula ungkapan-ungkapan yang menggambarkan akhir jelek yang sanggup ditimbulkan alasannya yaitu beranak (baik sedikit atau banyak), diantarannya:
“Karena anak, marwah tercampak”
“Karena anak , tuah terjelepak”
“Karena anak, rumah berserak”
“Karena anak , nama rusak”
“Sekali bini bunting, sekali kepala pening”
“Sekali bini mengandung, sekali tubuh menanggung”
“Sekali anak menyalah, seumur hidup mati menanggung hutang”
“Sekali anak menyalah, seumur hidup ditimpah susah”
“Sekali anak lahir, sekali mata berair”
“Sekali beranak durhaka, dunia alam abadi tubuh celaka”
“Sekali beranak sesau, kemana pergi hati risau”
“Sekali beranak jahat, dunia alam abadi sanggup mudarat”
Ungkapan-ungkapan menyerupai ini, yang jumlahnya cukup banyak, member petunjuk bahwa orang Melayu menyadari betapa banyak dan besarnya akhir jelek yang sanggup ditimbulkan oleh anak. Kesadaran itulah yang menyebabkan orang Melayu yang baik, berupaya untuk selalu mempertimbangkan jelek baiknya beranak, apalagi beranak banyak.
Bagi mereka yang merasa berat untuk beranak banyak, secara tradisional dilakukan banyak sekali upaya, untuk membatasi kelahiran anak. Diantaranya: berbentuk “senam menjarangkan anak”, “ramuan menjarangkan anak” dan sebagainya. Upaya ini, sudah menjadi tradisi dalam kehidupan dalam kehidupan orang Melayu, dan tidak menjadi pantangan. Yang dipantangkan dan diharamkan baik berdasarkan agama, maupun sopan santun dan tradisi ialah mengugurkan kandungan. Sedangkan upaya membatasi kelahiran anak, yang mereka sebut “menjarangkan anak” itu tidaklah dipantangkan, asal saja dilakukan sesuai berdasarkan sopan santun dan tradisi mereka warisi turun menurun.
Tradisi ini hingga kini masih terdapat dikampung-kampung. Hanya, cara menurunkan atau mewariskan pengetahuan itu tidaklah dilakukan secara terbuka sebagaiman upaya pemerintah menggalakkan KB Nasional. Pengetahuan itu dipelajari secara “berbisik-bisik”. Sebab itulah barangkali, pengetahuan “menjaragkan anak” yang ada dalam tradisi Melayu tidak banyak diketahui orang luar. Akibatnya, timbullah anggapan, seakan orang Melayu sama sekali tak pernah memikirkan wacana pembatasan kelahiran anaknya, bahkan , dianggap cenderung suka beranak banyak.
Barangkali, dalam upaya untuk lebih meningkatkan pelaksanaan jadwal KB Nasioal, tradisi “menjarang anak” itu sanggup diangkat dan dijadikan motivasi, sehingga mereka benar-benar memahami hakekat dan tujuan perlunya KB. Kepada masyarakat diingatkan kembali, bahwa apa yang kini disebut jadwal KB Nasional, intinya sudah ada didalam sopan santun dan tradisi mereka, yakni tradisi “menjarangkan anak” yang ditujuannya juga tidak berbeda dengan tujuan KB Nasional, yakni untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia, sejahtera, tepat lahiriah dan batiniahnya.
Dalam kehidupan masa kini, di mana kemajuan ilmu dan teknologi telah memasuki kawasan pedesaan, menyebabkan terjadinya proses pergeseran nilai-nilai budaya di dalam masyarakat. Perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya itu lebih member peluang dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya KB. Apalagi masyarakat mulai mencicipi betapa berat tubuh beranak banyak, terutama dalam memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Berbagi tuntutan yang harus disediakan orang renta untuk keperluan anaknya, menyebabkan mereka mencicipi eksklusif beban yang semakin berat itu.
Sedangkan tradisi memanfaatkan tenaga bawah umur untuk membantu mencari nafkah keluarga, kini tak sanggup lagi dilakukan sepenuhnya, alasannya yaitu bawah umur sudah mulai terikat pada sekolahnya.
Perubahan ini menyadarkan orang tua, bahwa semakin banyak anak semakin berat beban yang harus dipikulnya. Sedangkan santunan dari anak untuk menambah penghasilan keluarga tidaklah sanggup diharapkan. Anak-anak yang dalam usia sekolah, terikat oleh sekolahnya, sedangkan yang sudah menginjak dewasa, sulit pula mendapat pekerjaan. Lapangan perkerjaan tradisional, alhasil nyaris tidak mencukupi keperluan hidup, apalagi jika dibebani pula oleh tanggungan keluarga yang bertambah besar. Hal-hal ini, tentulah memberi peluang yang lebih besar bagi peningkatan pelaksanaan jadwal KB, terutama dipedesaan. Sedangkan di kawasan perkotaan, tidaklah terlalu banyak permasalahannya, alasannya yaitu umumnya mereka sebagian besar sudah mulai membebaskan dirinya dari ikatan tradisi leluhurnya.
Sumber http://ajstyle13.blogspot.com
0 Response to "Beberapa Kekeliruan Pemahaman Terhadapa Pantun Wacana Anak"
Posting Komentar