-->

iklan banner

Tujuan Dan Ruang Lingkup Aturan Islam

1. Tujuan Hukum Islam
Tujuan aturan Islam tidak terbatas pada lapangan materiel saja yang sifatnya sementara, tidak pula kepada hal-hal yang sifatnya formil belaka, akan tetapi lebih dari itu aturan Islam memperhatikan pelbagai faktor menyerupai faktor Individu, faktor masyarakat dan faktor kemanusiaan dalam hubungannya satu dengan yang lain demi terwujudnya keselamatan di dunia dan kebahagiaan di hari kemudian.
Dalam lapangan ibadat (shalat, puasa, zakat, dan naik haji) dimaksudkan:
1. Membersihkan jiwa insan dan mempertemukan dirinya dengan Tuhan. Tujuan ini menyangkut kesehatan rohani;
2. Kesehatan jasmani;
3. Kebaikan individu dan masyarakat dan pelbagai seginya.
Dalam lapangan Muamalat, tujuan-tujuan tersebut di atas juga nampak terperinci antara lain pada prinsip yang mengatakan:
1. Menolak ancaman didahulukan daripada mendatangkan kebaikan.
2. Kepentingan umum ditempatkan di atas kepentingan langsung dan golongan.
Dengan berpegang pada prinsip-prinsip tadi, maka beberapa bentuk perikatan atau kontrak dihentikan menyerupai kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga (riba), kawin kontrak, dan lain-lain.
Hukum Islam sesuai substansial selalu menekankan perlunya menjaga kemaslahatan manusia. Hukum Islam senantiasa memperhatikan kepentingan dan perkembangan kebutuhan insan yang pluralistik. Secara mudah kemaslahatan itu tertuju kepada tujuan-tujuan, yaitu:
1. Memelihara kemaslahatan agama.
2. Memelihara kemaslahatan jiwa.
3. Memelihara kemaslahatan keturunan.
4. Memelihara kemaslahatan harta benda.
Secara substansial, teori maqashid al-syariah ialah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudharat. Inilah yang biasa disingkat dengan istilah maslahat atau kemaslahatan. Karenanya setiap penetapan dan pengembangan aturan Islam senantiasa bermuara pada basis kemaslahatan itu. Imam al-Haramainal-Juwaini dalam buku Amir Mualim, menekankan pentingnya teori Maqashid al-syariah itu sebagai persyaratan utama yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (ahli aturan Islam). alasannya ialah dengan memahami teori itu berarti mujtahid telah memahami pula tujuan Allah menitahkan perintah-perintah demikian pula larangan-laranganNya, sehingga ia bisa mengeluarkan aturan secara benar. Kemudian Imam tersebut mengelaborasi Maqashid al-syariah dengan mengaitkannya dengan illat (motif), asl (tujuan syariat), dan membedakan menjadi tiga kategori, (1) dharuriyyah (primer), (2) al-hajjah al-ammah (sekunder), (3) makramat (tersier). 
At-Tufi membangun teori maslahat atau kemaslahatan tersebut dengan empat prinsip utama, yaitu:
1. Akal bebas memilih kemaslahatan dan kemafsadatan, khususnya dalam lapangan muamalat dan adat. Dengan logika tanpa berdasar wahyu insan sanggup mengetahui kebaikan dan keburukan, namun ia membatasi kebebasan logika hanya dalam bidang muamalah dan adab istiadat.
2. Maslahat merupakan dalil syar‟i yang sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan kehujjahannya tergantung pada logika semata.
3. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan muamalah dan adab kebiasaan. Bidang ibadat tidak terjangkau di dalamnya.
4. Maslahat merupakan dalil yang berpengaruh bila diperhadapkan atau bertentangan dengan ijma‟.
Berkaitan dengan teori maqhashid al-syariah itu ialah teori dari Imam Malik (Malik bin Anas meninggal 759 H) yang dikenal dengan al-maslahah al mursalah atau istislah, merupakan hasil ijtihad melalui logika manusia. M. Tahir Azhari, menerjemahkan teori tersebut dengan arti untuk kepentingan umum, selanjutnya disebut al-maslahah. Menurut Imam malik, kedudukan teori kepentingan atau kemaslahatan umum ialah salah satu dari sumber-sumber syariah, dengan tiga persyaratan, yaitu:
1. Kepentingan umum atau kemaslahatan umum itu bukan hal-hal yang berkenan dengan ibadat;
2. Kepentingan atau kemaslahatan umum itu harus selaras (in harmony with) dengan jiwa syariah dan tidak boleh bertentangan dengan salah satu sumber syariah;
3. Kepentingan atau kemaslahatan umum itu haruslah merupakan sesuatu yang esensial (diperlukan) dan bukan hal-hal yang bersifat kemewahan.
Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan aturan Islam yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, yang kemudian disepakati oleh ilmuwan aturan Islam lainnya. Kelima tujuan aturan Islam itu di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al-khamsah atau al-muqasid al shari‟ah.
Tujuan aturan Islam tersebut di atas sanggup dilihat dari dua segi yakni dari segi „Pembuat Hukum‟ dan dari segi insan yang menjadi pelaku dan pelaksana aturan Islam. Segi pembuat aturan yaitu Allah dan Rasul-Nya mengemukakan bahwa tujuan aturan Islam yang pertama ialah untuk memenuhi keperluan hidup insan yang bersifat primer, sekunder, dan tertier, yang dalam kepustakaan aturan Islam masing-masing disebut dengan istilah daruriyyaat, hajjiyaat, dan tahsiniyyaat dengan klarifikasi sebagai berikut:
1. Kebutuhan primer (darurriyaat) ialah kebutuhan utama yang harus dilindingi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh aturan Islam biar kemaslahatan hidup insan benar-benar terwujud.
2. Kebutuhan sekunder (hajjiyaat) ialah kebutuhan yang diharapkan untuk mencapai kebutuhan primer, menyerupai contohnya kemerdekaan persamaan, dan sebagainya, yang bersifat menunjang eksistensi si kebutuhan primer.
3. Kebutuhan tertier (tahsiniyyaat) ialah kebutuhan hidup insan selain dari yang sifatnya primer dan sekunder itu yang perlu diadakan dan dipelihara untuk kebaikan hidup insan dalam masyarakat.
Yang kedua bahwa tujuan aturan Islam ialah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh insan dalam kehidupannya sehari-hari. Yang ketiga, ialah supaya sanggup ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan benar, insan wajib meningkatkan kemampuannya untuk memahami aturan Islam dengan mempelajari undangan al-fiqh yakni dasar pembentukan dan pemahaman aturan Islam sebagai metodologinya. Dari segi pelaku aturan Islam yakni insan itu sendiri, tujuan aturan Islam ialah untuk mencapai kehidupan yang berbahagia dan sejahtera.

2. Ruang Lingkup Hukum Islam
Menurut Ahmad Azhar Basyir, aturan Islam mengatur perikehidupan insan secara menyeluruh, meliputi segala macam aspeknya. Hubungan insan dengan Allah diatur dalam bidang ibadat dan hubungan insan dengan sesamanya diatur dalam bidang muamalat dalam arti luas, baik yang bersifat perorangan maupun bersifat umum, contohnya perkawinan, pewarisan, aturan perjanjian, ketatanegaraan, kepidanaan, peradilan, dan seterusnya. Dalam pandangan Azhar Basyir, bila dihubungkan dengan Ilmu Hukum dikenal adanya pembagian terstruktur mengenai aturan privat dan aturan publik, dalam aturan Islam pun dikenal adanya pembagian tersebut dengan ditambahkan satu kelompok lagi, yaitu aturan ibadat. Dengan demikian dalam aturan Islam dikenal pembagian terstruktur mengenai tersendiri, yaitu aturan privat Islam, aturan publik Islam dan aturan ibadat. Klasifikasi yang disebutkan terakhir menyampaikan bahwa aturan Islam itu meliputi dua dimensi, dunia dan hari kemudian Berkaitan dengan pembagian aturan Islam tersebut, Mushthafa Ahmad Az-Zarqa‟ mengemukakan beberapa aspek aturan Islam ke dalam tujuh bidang, yaitu:
1. Hukum-hukum yang berafiliasi dengan peribadatan kepada Allah, menyerupai shalat, puasa, haji, bersuci dari hadas dan sebagainya. Kelompok aturan ini disebut Hukum Ibadat.
2. Hukum-hukum yang berafiliasi dengan tata kehidupan keluarga, seperti: perkawinan, perceraian, hubungan keturunan, nafkah keluarga, kewajiban anak terhadap orang bau tanah dan sebagainya. Kelompok aturan ini disebut Hukum Keluarga (al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah).
3. Hukum-hukum yang berafiliasi dengan pergaulan hidup dalam masyarakat mengenai kebendaan dan hak-hak serta penyelesaian persengketaan-persengketaan, menyerupai perjanjian jual beli, sewa-menyewa, utang-piutang, gadai, hibah, dan sebagainya. Kelompok aturan ini disebut Hukum Muamalat.
4. Hukum yang berafiliasi dengan tata kehidupan bernegara, menyerupai hubungan penguasa dengan rakyat, pengangkatan kepala negara, hak dan kewajiban penguasa dan rakyat timbal balik dan sebagainya. Kelompok aturan ini disebut Al-Ahkam as-Sulthaniyah atau as-Siyasah as-Syar‟iah, yang yang meliputi hal-hal yang dibahas dalam Hukum Tata Negara Pemerintahan sebagaimana dikenal remaja ini.
5. Hukum-hukum yang berafiliasi dengan kepidanaan, menyerupai macam-macam perbuatan pidana dan ancaman pidana. Kelompok aturan ini disebut al-„Uqubat, dan sering disebut juga al-JinAyat (Hukum Pidana).
6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara-negara lain, yang terdiri dari aturan-aturan hubungan pada waktu tenang dan pada waktu perang. Kelompok aturan ini disebut as-Sair (Hukum Antar Negara).
7. Hukum-hukum yang berafiliasi dengan budi pekerti, kepatutan, nilai baik dan jelek seperti: mengeratkan hubungan persaudaraan, makan minum dengan tangan kanan, mendamaikan orang yang berselisih dan sebagainya. Kelompok aturan ini disebut al-Adab (Hukum Sopan Santun). Kelompok terakhir dalam praktik tidak menjadi bahan pelajaran aturan Islam, tetapi merupakan bahan akhlak.
Pengelompokan cakupan aturan Islam tersebut sekaligus berupaya mendetailkan ruang lingkup aturan Islam menyerupai halnya sistem-sistem aturan lainnya.
Lain halnya berdasarkan Amir Syarifuddin, ruang lingkup dalam aturan dalam aturan Islam baik yang terdapat Al-qur‟an dan Hadis secara garis besarnya sanggup dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Hukum I‟tiqadiyah yaitu yang mengatur hubungan rohaniah antara insan dengan Tuhan dan hal-hal yang menyangkut dengan keimanan. Hukum dalam bidang kemudian bermetamorfosis ilmu-ilmu Ushuluddin.
2. Hukum-hukum khuluqiah yang menyangkut tingkah laris dan moral lahir insan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hukum ini berkembang kemudian menjadi ilmu Akhlak.
3. Hukum-hukum amaliyah yang manyangkut hubungan lahiriah antara insan dengan Tuhannya, dengan sesama insan dan dengan alam sekitarnya. Hukum ini bermetamorfosis ilmu Syariah.

Sumber http://handarsubhandi.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Tujuan Dan Ruang Lingkup Aturan Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel