-->

iklan banner

Hubungan Diplomatik Antar Negara

Sampai dengan tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan kekerabatan diplomatik berasal dari aturan kebiasaan. Pada kongres Wina tahun 1815 raja-raja yang ikut dalam konferensi setuju untuk mengkodifikasi aturan kebiasaan tersebut menjadi aturan tertulis.  Dan dalam konferensi itu melahirkan naskah mengenai hirarki diplomat yang dilengkapi dengan protokol Aix-La-Chapelle tanggal 21 November 1818. Konferensi Wina tersebut intinya tidak melahirkan apa-apa, melainkan hanya mengkonversikan kebiasaan internasional mengenai kekerabatan diplomatik menjadi sebuah aturan tertulis.
Sejarah itu berlanjut, hingga pada kesudahannya sebuah kodifikasi mengenai kekerabatan diplomatik terbentuk. Pada tanggal 18 April 1961 lahirlah sebuah konvensi yang hingga sekarang dijadikan sebagai ajaran dalam menjalankan aktivitas diplomatik. Konvensi itu yakni Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 atau lebih familiar dengan sebutan Konvensi Wina 1961. Terciptanya konvensi ini diikuti dengan lahirnya konvensi-konvensi lainnya terkait dengan kekerabatan internasional.
Meski sebuah kodifikasi perihal kekerabatan diplomatik telah lahir. Hukum kebiasaan dalam praktik diplomatik tidak sanggup dikesampingkan. Dalam praktik kekerabatan diplomatik setiap negara mempunyai perutusan-perutusan diplomatik (diplomatic envoys). Seperti di jelaskan di atas pada konferensi Wina 1815 lahir hirarki diplomat. hirarki tersebut kemudian diadaptasi kemudian dituangkan dalam Konvensi Wina 1961 pada pasal 14 hingga 18, berdasarkan ketentuan ini , pimpinan perutusan diplomatik terbagi dalam tiga kelompok yaitu:
1.      Duta Besar (Ambassador) atau utusan diplomatik Paus (nuncios) yang diakreditasikan kepada kepala negara  dan pimpinan perutusan lainnya yang setingkat itu.
2.      Duta, Minister dan internucious yang diakreditasikan kepada kepala Negara
3.      Kuasa Usaha (charges d’affaire) yang diakreditasikan kepada kepala negara. Kecuali dalam kasus penekanan dan tata cara, tidak ada perbedaan antara pimpinan misi alasannya yakni alasan penggolongannya.

Adapun urutan utusan diplomatik secara lengkap berdasarkan kebiasaan praktik diplomatik Indonesia sesuai dengan apa yang tertuang dalam klarifikasi pasal 33 UU no. 37 tahun 1999 yakni sebagai berikut:
1.      Duta Besar
2.      Minister
3.      Minister Counsellor
4.      Counsellor
5.      Sekretaris pertama
6.      Sekretaris kedua
7.      Sekretaris ketiga
8.      Atase
Urutan di atas juga merujuk pada jenjang kepangkatan dan gelar diplomatik yang diatur dengan keputusan menteri. Hal ini sesuai dengan pasal 8 UU no.37 tahun 1999. Menteri luar Negeri sanggup mengangkat pejabat dari departemen dan forum lain untuk melaksanakan tugas-tugas menyerupai atase-atase teknik tersebut di atas.
A.    Pembukaan dan Pemutusan Hubungan Diplomatik
Secara umum diakui bahwa setiap negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai right of legation. Hak legasi ini ada yang aktif yaitu hak suatu negara untuk mengakreditasikan wakilnya ke negara lain dan hak legasi pasif yaitu kewajiban untuk mendapatkan wakil-wakil negara asing. Hak legasi ini diterima oleh konvensi havana 1928. Seperti yang tertuan dalam pasal 1-nya. Namun, pada prektiknya sekarang hak legasi ini sudah tidak relevan lagi alasannya yakni suatu negara berdaulat bebas menetukan untuk bekerjasama dengan negara mana saja. Hal ini didukung oleh pernyataan seorang pakar aturan internasional asal perancis Prof Fauchille: tidak suatu negara pun yang diharuskan mendapatkan duta besar negara lain. Itu yakni duduk kasus kekerabatan baik dan bukan kasus hukum.
Jadi, untuk praktik kekerabatan diplomatik ketika ini sudah tidak ada keharusan untuk membuka kekerabatan diplomatik dengan negara lain, serta tidak ada keharusan dalam mendapatkan misi diplomatik absurd di suatu negara.
Mengenai pembukaan misi diplomatik, Konvensi Wina 1961 telah menegaskan dengan terperinci bahwa pembukaan kekerabatan diplomatik antara negara-negara dan perwakilan tetap diplomatik dilakukan atas dasar saling kesepakatan. Kesepakatan ini biasanya diumumkan dalam bentuk resmi menyerupai komunikasi bersama, perjanjian persahabatan, dan lain-lain.
Jika dijabarkan ada beberapa unsur penting dalam rumusan pasal 2 Konvensi Wina 1961 tersebut. Unsur yang dimaksud yakni adanya kesepakatan. Selain itu dalam rumusan tersebut membedakan atas membuka kekerabatan diplomatik dan membuka perwakilan tetap. Kedua hal tersebut ditulis dalam pemaknaan yang terpisah.
Di Indonesia sendiri pembukaan kekerabatan diplomatik dan pembukaan kantor perwakilan diplomatik ditetapkan dengan keputusan Presiden .pada dasarnya pembukaan kekerabatan diplomatik secara umum dimulai dari pengakuan kemudian diikuti dengan pembukaan kekerabatan diplomatik.
Sementara itu berakhirnya misi diplomatik seorang staf perwakilan tertuang pada Pasal 43 Konvensi Wina 1961:
The function of a diplomatic agent comes to an end, inter alia : (a) on notification by the sending State to the receiving State that the function of the diplomatic agent has come to an end;
(b) on notification by the receiving State to the sending State that, in accordance with paragraph 2 of Article 9, it refuses to recognize the diplomatic agent as a member of the mission.
Yang sanggup diartikan sebagai berikut:
Berakhirnya fungsi staff diplomatik, karena:
1)      Adanya pemberitahuan dari negara pengirim kepada negara akseptor bahwa kiprah dari pejabat diplomatik itu telah berakhir.
2)      Adanya pemberitahuan dari negara akseptor kepada negara pengirim bahwa, sesuai dengan ayat 2 dari pasal 9 Konvensi, negara tersebut menolak untuk mengakui seorang pejabat diplomatik sebagai perwakilan.
Di sisi lain Starke juga mengemukakan poin-poin perihal berakhirnya misi diplomatik sanggup berakhir dengan banyak sekali cara. Beberapa poin yang dimaksud yakni sebagai berikut:
1)      Penarikan kembali (recall) perutusan itu oleh negara yang mengirimnya.
2)      Pemberitahuan oleh negara pengirim kepada negara akseptor bahwa kiprah perutusan itu telah berakhir.
3)      Permintaan oleh negara akseptor biar perutusan ditarik kembali (recalled)
4)      Penyerahan paspor-paspor kepada perutusan dan stafnya serta keluarganya oleh negara yang menerima, menyerupai pada waktu pecah perang anatara negara pengirim dan penerima
5)      Pemberitahuan oleh negara akseptor kepada negara pengirim, jikalau perutusan itu dinyatakan persona non grata dan apabila ia tidak ditarik kembali atau tugasnya belum berakhir, bahwa negara akseptor itu menolak mengakuinya lagi sebagai anggota misi
6)      Tujuan misi tersebut telah terpenuhi
7)      Berakhirnya masa berlaku surat-surat kepercayaan yang diberikan hanya untuk waktu yang terbatas.
Poin-poin Starke di atas berdasar pada ketentuan Konvensi Wina 1961. Di atas juga sempat disinggung mengenai persona non grata. Persona non grata adalah sebuah istilah yang dipakai sebagai lisan ketidakpercayaan suatu negara pada perwakilan diplomatik. Alasannya bermacam-macam yakni spionase, konspirasi, bahaya keamanan, penyalahgunaan hak-hak istimewa dan lain-lain.
Pemutusan kekerabatan diplomatik merupakan suatu langkah terakhir yang dilakukan oleh negara sehabis menemukan jalan buntu dalam penyelesaian masalah.
B.     Tugas-tugas Perwakilan Diplomatik
Tugas pokok seorang diplomat tidak lain yakni mewakili negaranya di negara pengesahan dan sebagai penghubung anatara pemerintah kedua negara. Secara detail hal mengenai tugas-tugas seorang diplomat dituangkan dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi Wina 1961 menyerupai berikut:
The functions of a diplomatic mission consist inter alia in :
a)      representing the sending State in the receiving State;
b)      protecting in the receiving State the interests of the sending State and of its nationals, within the limits permitted by international law;
c)      negotiating with the Government of the receiving State;
d)     ascertaining by all lawful means conditions and developments in the receiving State, and reporting thereon to the Government of the sending State;
e)      promoting friendly relations between the sending State and the receiving State, and developing their economic, cultural and scientific relations.
Yang sanggup diartikan sebagai berikut:
Tugas dari perwakilan diplomatik diantaranya:
1)      Mewakili negara pengirim di negara penerima
2)      Melindungi kepentingan negara pengirim dan  kepentingan warga negaranya di negara akseptor dalam batas-batas yang diperbolehkan aturan internasional
3)      Melakukan negosiasi dengan pemerintah negara akseptor
4)      Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah perihal keadaan dan perkembangan negara akseptor dan melaporkannya kepada pemerintah negara pengirim.
5)      Meningkatkan kekerabatan persahabatan antara negara pengirim dan negara akseptor serta menyebarkan kekerabatan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
C.    Hak-hak spesial dan Kekebalan
Hak-hak istimewa, privilage-privilage, dan kekebalan atau imunitas-imunitas dari perutusan diplomatik dan perwakilan tetap atau kedutaan juga disebutkan dalam Konvensi Wina 1961. Hak, privilage dan imunitas tersebut diberikan guna melancarkan fungsi misi diplomatik yang dijalankan perutusan diplomatik di negara penerima.
Beberapa hak, privilage dan imunitas perutusan diplomatik dan perwakilan diplomatik yakni perutusan diplomatik menikmati pengecualian dari yurisdiksi perdata dan pidana setempat, perutusan diplomatik tidak sanggup diganggu-gugat, kekebalan pada gedung kedutaan dan arsip-arsip serta dokumen-dokumen kedutaan, proteksi akomodasi penuh dari negara akseptor kepada perutusan diplomatik dalam menjalankan tugasnya, kebebasan bergerak dan melaksanakan perjalanan, kebebasan berkomunikasi untuk segala tujuan dinas, pembebasan dari segala bentuk bea dan pajak, pembebasan dari ketentuan-ketentuan keamanan masyarakat, serta kebebasan dari kewajiban dinas dan kemiliteran.
Hak-hak dan kekebalan ini juga berlaku untuk keluarga dan pembantu rumah tangga dalam lingkup kedutaan dan kediaman perutusan diplomatik.
D.    Aturan-aturan Hukum Mengenai Hubungan Diplomatik
Dari awal pembahasan pengenai kekerabatan diplomatik telah disebutkan beberapa aturan yang terkait mengenai kekerabatan diplomatik. Beberapa diantaranya yakni Konvensi Wina 1961 dan Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 perihal Hubungan Luar Negeri.
Dua aturan tersebut merupakan dasar yang dipakai oleh negara Indonesia dalam menjalankan praktik kekerabatan internasional khususnya mengenai ajaran dalam menjalankan misi-misi diplomatik di suatu negara. Meski kemudian muncul aturan-aturan lainnya. Namun, dalam praktiknya kedua aturan ini menjadi ajaran utama dalam melaksanakan kekerabatan diplomatik.
Konvensi Wina 1961 menjadi asal mula lahirnya hukum-hukum tertulis lain menyangkut kekerabatan diplomatik. Indonesia meratifikasi konvensi ini dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1982. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1982 ini menjadi titik awal perumusan sejumlah regulasi-regulasi menegenai kekerabatan internasional secara nasional yang dimiliki Indonesia.

Sumber http://handarsubhandi.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Hubungan Diplomatik Antar Negara"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel