Valentine’S Day: Ajang Melanggengkan Stereotip Gender
Saling menyebarkan kasih sayang di hari Valentine sah-sah saja, sejauh tidak hingga pada pengkultusan momentum kasih sayang di satu hari tertentu. Sudah jamak diketahui, budaya yang muncul di pinggiran bumi sekalipun sanggup dikatakan mengglobal bila nyatanya dianut oleh insan seantreo jagad. Hari Valentine mungkin ialah salah satunya. Betapapun di sekeliling kita banyak orang yang mengutuk, kita masih dengan gampang menemukan mereka yang sumringah menanti-nanti datangnya hari Valentine. Banyak orang di sekitar kita yang menganggap istimewa hari pada 14 Februari tersebut. Mari kita sejenak menyerahkan perdebatan itu pada mereka yang suka berdebat. Disini, meskipun sekilas, kita singgung hari Valentine bukan dari pro-kontranya, melainkan dari sisi lainnya, yakni soal stereotip gender.
Baca juga Gender: Sebuah Konstruksi Sosial
Ide perihal persamaan gender muncul satu atau dua kala lalu. Siapa lagi pelakunya kalau bukan mereka yang kini dikenal sebagai filsuf feminis. Para penerusnya, ibarat yang kita ketahui, banyak beredar hingga hari ini, tak hanya kalangan perempuan, melainkan juga laki-laki. Bolehlah pria menjadi feminis.
Berdasar pengalaman di masa lalu, hari Valentine seringkali identik dengan momentum santunan suatu benda yang menyimbolkan kasih sayang oleh seseorang kepada orang yang disayangi. Coklat serta bunga ialah dua diantaranya. Tak perlu menolak jikalau ada orang lain yang memberi kita simbol kasih sayang itu di hari Valentine. Toh, itu hanya menunjukan dari wujud kasih sayangnya.
Bersikap altruistik meskipun sebentar, terang lebih baik ketimbang egoistik permanen. Simbol kasih sayang bergotong-royong sanggup apa saja, apapun tak jadi soal. Namun, sebuah realitas cukup mengejutkan dikala melihat fenomena menyebarkan kasih sayang ialah pada aspek secualitas aktornya. Maksudnya begini, “mengapa biasanya perempuan lebih banyak mendapatkan hadiah pada hari Valentine, sedangkan pria lebih banyak merogoh kocek?”
Belum ada survey mengenai hal itu, paling tidak di sini kita asumsikan demikian. Ditambah lagi, anggapan bahwa perempuan menyukai romansa, menyukai ungkapan cinta yang mendayu-dayu, apalagi yang sanggup menciptakan tersedu-sedu. Memperoleh hadiah ialah momentum yang sangat romantis bagi wanita. Di sisi lain, jarang sekali perempuan menyukai gosip konflik, ibarat perkelahian atau peperangan, bahkan jikalau itu hanya fantasi di dalam novel. Dimana laki-laki? mereka menyukai hal-hal yang bersifat kejantanan, keberanian, dan sering kali kekerasan. Inilah faktanya, tapi coba kita tanyakan pada kaum feminis, benarkah demikian?
Tentu saja, apapun retorika jawabannya, kaum feminis akan mengatakan, “itu merupakan bentuk stereotip gender”. Upaya mendefinisikan perempuan yang menyukai romansa dan pria yang menyukai konflik ialah upaya melanggengkan ketimpangan gender. Wanita jadinya selalu dianggap berada di pihak yang lemah, yang mendayu-dayu, dan hanya sanggup membisu mendapatkan hadiah. Dalam hal ini, saya tentu saja sepakat, toh faktanya, pria juga banyak yang menyukai romansa. “Wahai wanita, soal cinta janganlah dijadikan klaim sepihak!” Lagi pula, saya yakin pria juga bahagia mendapatkan hadiah apalagi dari orang yang disayanginya.
Secara teoritis, kritik kaum feminis sanggup membatu kita menerawang sebuah potret ketidakadilan tugas yang dimainkan oleh spesies berjulukan insan ini. Kesetaraan gender mungkin ilusi, tapi keadilan ialah sebuah prinsip. Jika, baik perempuan maupun laki-laki, tidak lagi dianggap tabu dikala berinisiatif memberi kasih sayang, bukankah itu namanya keadilan?
Lebih jauh, saya mengusulkan apabila momentum Valentine selayaknya dimanfaatkan tak hanya sebatas santunan hadiah, namun juga mempromosikan prinsip keadilan dan kemanusiaan. Sayangnya, hal itu kedengaran utopis. Valentine ialah hari kasih sayang, begitulah mereka mendefinisikan. Bagi saya, itu yang tampak dipermukaan memang, tetapi secara tersembunyi justru sering kali yang terjadi ialah “ajang melanggengkan stereotip gender”.
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "Valentine’S Day: Ajang Melanggengkan Stereotip Gender"
Posting Komentar