-->

iklan banner

Keganjilan Dunia Buku

Begitu rumit memahami hukum main dunia kata Keganjilan Dunia BukuBegitu rumit memahami hukum main dunia kata-kata. Setidaknya itulah yang melayang-layang dipikiran aku wacana buku-buku. Sungguh irasional, jauh dari nalar, dan penuh keganjilan. Kemarin aku beruntung sempat meluangkan waktu untuk jalan-jalan menyaksikan ekspo buku di Yogyakarta. Di sana beredar fakta-fakta wacana buku yang tak sanggup aku pahami. Sebuah pertanyaan besar yang mungkin bagi beberapa orang dianggap klasik, tetapi selalu menghantui pikiran saya. Pertanyaan yang sangat sederhana; mengapa beberapa buku bermutu harganya murah? dan sebagian buku-buku yang gila dan tidak terang esensinya berharga begitu tinggi bahkan dilabeli “laris”?


Para penerbit memang telah mendeklarasikan adanya sebuah kenyataan yang tidak sanggup disangkal di dunia perbukuan, bahwa buku terbagi menjadi dua, ada buku bermutu dan ada buku laris. Bagi mereka yang mempunyai pengalaman di penerbitan, kenyataan ini merupakan suatu hal yang biasa. Kehebatan penulis mungkin lebih banyak berupa anggapan yang berasal dari unsur subjektif. Saya menganggap para pemikir besar mempunyai karya yang begitu mahir –sekalipun aku tidak selalu menyetujui argumentasi yang dituliskannya, misalnya-. Tapi Anda sanggup saja menganggap goresan pena pemikir besar tidak begitu manis alasannya yakni tidak ada relevansinya sama sekali dengan diri dan kehidupan Anda. JK Rowling yakni orang pertama yang menjadi milliarder dari menulis. Karyanya mungkin Anda baca dan kagumi, tapi niscaya ada orang lain yang tidak menganggapnya bagus. Buku laku dan buku bermutu sama sekali buka suatu hal yang objektif.


Di ekspo itu, aku menemukan sebuah buku langka yang ditulis oleh penulis kenamaan Ali Syariati. Seseorang yang dikenal sebagai ‘Bapak Ideologi Revolusi Islam Iran’ itu menulis buku berjudul ‘Women in the Eyes and Heart of Muhammad’, diterjemahkan oleh penerbit menjadi ‘Para Perempuan di Sisi Nabi’. Tulisan yang kental muatan ideologi serta ditulis dengan gaya bahasa yang menyentuh secara emosional itu dilabeli dengan harga relatif murah, yakni 14 ribu rupiah. Buku itu bagi aku berpotensi mengubah pandangan hidup para pembacanya dan terang bermutu alasannya yakni ditulis oleh salah satu orang paling besar lengan berkuasa di Iran bahkan Timur Tengah. Tapi mengapa hanya 14 ribu rupiah? Alasannya mungkin saja, buku itu terlalu tipis untuk dihargai lebih tinggi. Harga itu sudah dianggap cukup untuk menutup ongkos produksi dan menghasilkan keuntungan penerbit. Penerbit jelas  mustahil mengabaikan hal yang satu itu.


Di sisi lain muncul pula pertanyaan saya, mengapa banyak buku-buku tanpa mutu dipajang berjejer di rak best-selling book di toko-toko buku ternama? Jika Anda penggemar buku-buku best-seller, pertanyaan itu mungkin menjadi ambigu. Jelas bahwa buku laku mempunyai banyak pembaca, yang barangkali itu artinya bermutu. Penerbit tentu saja sangat menyukai bukunya laris. Kita paham, tidak setiap pembaca menyukai buku laris. Jika kita baiklah bahwa buku laku dan buku bermutu hanya dibedakan secara sebjektif, perdebatan soal perbedaan itu menjadi tidak penting lagi. Satu hal yang perlu diperhatikan, kita dihentikan menafikan fakta bahwa ada buku laku yang memang isinya bermutu. Layak pula jikalau penerbit melabeli dengan harga tinggi dan kita rela merogoh kocek yang tidak sedikit demi mendapatkannya. Sejauh yang aku ketahui, buku laku dan buku mermutu memang ada. Gabungan diantara keduanya juga ada. Pada karenanya penerbit dan pembaca-lah yang mempunyai kuasa untuk menilainya.



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Keganjilan Dunia Buku"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel