Postmodernisme: Definisi Sosiologis
Postmodernisme ialah istilah yang cair dan penuh kontestasi terutama bila dikaitkan hubungannya dengan modernisme. Pertanyaan yang sering muncul, apakah teori postmodern ialah keberlanjutan dari teori modern? Ataukah sebuah fase sejarah gres yang sama sekali lain dari modernisme. Postmodern, postmodernitas, postmodernisme, muncul di banyak sekali disiplin dari sosial, seni, politik, filsafat, hingga arsitektur. Berikut ini akan dipaparkan definisi, arti, pengertian dari istilah postmodern dari perspektif sosiologi.
Apa itu postmodernisme?
Menurut Anthony Giddens, dalam bukunya ’The Consequences of Modernity’, istilah postmodern mengandung arti salah satu atau lebih dari perkiraan berikut ini: bahwa di kurun postmodern, apa yang kita sebut discovery, temuan, pengetahuan tidak pernah diketahui secara pasti, sebab semua fondasi epistemologi (metode) dari memperoleh pengetahuan tidak reliable, tidak sanggup dipercaya, tidak sanggup diandalkan. Dalam postmodern, ’sejarah’ bergerak tanpa teleologi, tanpa tujuan dan konsekuensinya tidak terperinci apa yang dimaksud dengan progress. Di kurun postmodern, aktivitas sosial dan politik hadir bersama gerakan yang konsen pada lingkungan dan juga mungkin gerakan sosial gres secara umum. Sangat jarang dikala ini seseorang memakai istilah postmodern untuk menunjukkan penggantian sistem kapitalisme dengan sosialisme, misalnya.
Baca juga: Apa itu modernisme?
Apakah postmodernisme lanjutan dari modernisme? Atau babak gres sejarah (diskontinuitas)?
Kendati Giddens menolak kalau pengertian postmodernitas sebagai babak gres sejarah yang lepas dari modernitas, Giddens tidak memberi ulasan yang secara eksplisit menjelaskan bahwa postmodernitas ialah keberlanjutan dari modernitas.
Fredrik Jameson, penulis ’Postmodernism, or The Cultural Logic of Late Capitalism’, mengambil posisi lebih tegas dengan menyampaikan bahwa postmodernisme ialah babak gres sejarah. Menurutnya, beberapa tahun terakhir ini sejarah banyak ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang mengandung istilah ’akhir’, menyerupai ’akhir ideologi’, ’akhir perang dingin’, ’akhir usaha kelas’, ’akhir seni otentik’, dan akhir-akhir lainnya. Peristiwa simpulan tersebut mungkin relevan disebut dengan istilah yang makin terkenal belakangan ini: postmodernisme.
Eksistensi postmodernisme sangat bergantung pada hipotesis diskontinuitas yang radikal semenjak simpulan 1950 hingga awal 1960 terutama di Eropa dan Amerika. Sebagaimana makna dari istilah itu sendiri, keberadaan diskontinuitas sejarah menandai punahnya gerakan modern yang hidup ratusan tahun lalu. Kini, muncullah gerakan-gerakan gres seperti, ekspresionisme aneh dalam seni lukis, eksistensialisme dalam filsafat, reality show dalam film, dan sebagainya. Semua ini menandai sebuah babak gres sejarah yang empirik, kacau, dan heterogen.
Jean-Francois Lyotard, dalam ’The Postmodern Condition: A Report on Knowledge’ secara sederhana mendefinisikan postmodern sebagai ‘ketidakpercayaan terhadap metanarasi’. Metanarasi yang dimaksud tentu saja teori-teori besar (grand theories) produk modernitas, menyerupai contohnya teori Marx ihwal usaha kelas. Grand theory menurutnya tidak mempunyai metode yang sanggup dipercaya. Misalnya, bagaimana klarifikasi epistemologis bahwa masyarakat terdiri hanya dari dua kelas, borjuis dan proletar? Ringkasnya, postmodernisme ialah penolakan terhadap tatanan modern, menuju dunia tanpa tatanan yang heterogen.
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "Postmodernisme: Definisi Sosiologis"
Posting Komentar