-->

iklan banner

Makalah Psikologi Berguru Dalam Perspektif Islam

Psikologi Belajar dalam Perspektif Islam Makalah Psikologi Belajar dalam Perspektif Islam

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana telah memperlihatkan kami semua kekuatan serta kelancaran dalam menuntaskan kiprah mata kuliah ini yang berjudul Makalah Psikologi Belajar Dalam Perspektif Islam sanggup selesai ibarat waktu yang telah kami rencanakan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari kiprah serta banyak sekali pihak yang telah memperlihatkan derma secara materil dan spiritual, baik secara pribadi maupun tidak langsung. Oleh alasannya itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dosen pengampuh Mata Kuliah ini
2. Orang bau tanah yang telah memperlihatkan dukungan dan derma kepada penulis sehingga makalah ini sanggup terselesaikan
3. Teman-teman yang telah membantu dan memperlihatkan dorongan semangat biar makalah ini sanggup kami selesaikan

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang membalas budi baik yang nrimo dan ihklas kepada semua pihak yang penulis sebutkan di atas. Tak ada gading yang tak retak, untuk itu kamipun menyadari bahwa makalah yang telah kami susun dan kami kemas masih mempunyai banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan baik dari segi teknis maupun non-teknis. Untuk itu penulis membuka pintu yang selebar-lebarnya kepada semua pihak biar sanggup memperlihatkan saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan mendatang. Dan apabila di dalam makalah ini terdapat hal-hal yang dianggap tidak berkenan di hati pembaca mohon dimaafkan.

Makassar, 09 Desember 2013


Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
A. Makna Psikologi Belajar dalam Perspektif Islam
B. Manusia Dalam Perspektif Islam
C. Belajar Prespektif Agama Islam
D. Ragam Alat Belajar

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia pendidikan memahami atau membaca hal-hal yang tampak (fisik atau jasmaniyyah) dan tidak tampak (psikis atau ruhaniyyah) sangat penting, alasannya tidak semua hal-hal yang tampak mencerminkan kepribadian individu secara utuh. Dalam proses pembelajaran banyak sekali perilaku-perilaku psikologis yang harus dipahami oleh guru. Oleh alasannya itu, perlu dibahas mengenai psikologi khususnya psikologi dalam perspektif Islam.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi fokus permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini sanggup dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa makna psikologi berguru dalam perspektif Islam?
2. Bagaimana insan dalam perspektif Islam?
3. Bagaimana berguru dalam perspektif Islam?
4. Apa ragam alat belajar?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini ialah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasikan psikologi berguru dalam perspektif Islam.
2. Mengidentifikasikan insan dalam perspektif Islam.
3. Mengidentifikasikan berguru dalam perspektif Islam.
4. Mengidentifikasikan ragam alat belajar.

BAB II
PEMBAHASAN
ANALISIS PSIKOLOGI BELAJAR DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Makna Psikologi Belajar dalam Perspektif Islam
1. Selayang Pandang wacana Sejarah Psikologi dan Pengertiannya
Pada dasarnya, psikologi menyentuh banyak bidang kehidupan diri organisme, baik insan maupun hewan. Psikologi berafiliasi dengan penyelidikan mengenai bagaimana dan mengapa organisme-organisme itu berbuat atau melaksanakan sesuatu. Akan tetapi secara lebih spesifik, psikologi lebih banyak dikaitkan dengan kehidupan organisme manusia. Dalam hubungan ini, psikologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha memahami sikap manusia, alasan dan cara mereka melaksanakan sesuatu, dan juga memahami bagaimana insan berpikir dan berperasaanAwalnya psikologi digunakan para ilmuwan dan para filosof untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam memahami budi pikiran dan tingkah laris aneka ragam makhluk hidup. Sebelum menjadi disiplin ilmu yang otonom, psikologi termasuk dalam pembahasan filsafat. Namun kemudian psikologi melepaskan diri dari filsafat dan menjadi disiplin ilmu yang otonom pada tahun 1879 dikala William Wund (1832-1920) mendirikan laboratorium psikologi di Jerman.

Sebagai suatu disiplin ilmu yang telah berdiri sendiri, psikologi telah banyak dipergunakan dan diimplementasikan dalam banyak sekali bidang kehidupan, ibarat pendidikan, pengajaran, ekonomi, perdagangan, industri, hukum, politik, militer, sosial, kepemimpinan, training dan agama. Penggunaan dan implementasi disiplin ilmu psikologi dalam bidang-bidang kehidupan di atas, kemudian timbul banyak sekali cabang psikologi yang mengkaji tingkah laris insan dalam situasi yang lebih khusus, baik untuk tujuan teoritis maupun praktis. Salah satu cabang psikologi yang mengkaji suatu obyek secara khusus ialah psikologi belajar.

Psikologi berguru ialah sebuah frase yang terdiri dari dua kata, yaitu psikologi dan belajar.Psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi, psikologi berguru secara harfiah berarti lmu wacana jiwa atau ilmu jiwa. Sedangkan berguru itu sendiri secara sederhana sanggup diberi definisi sebagai acara yang dilakukan individu secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari apa yang telah dipelajari dan sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungan sekitarnya.

2. Makna Psikologi Belajar dalam Islam
Merujuk pada pengertian psikologi di atas, dalam pengertian yang lebih luas psikologi berguru sanggup dimaknai sebagai suatu ilmu pengetahuan ynag mengkaji atau mempelajari tingkah laris individu (manusia) di dalam perjuangan mengubah tingkah lakunya yang dilandasi oleh nilai-nilai ajran Islam dlam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan dalam alam sekitar melalui proses pendidikan.

Berdasarkan pengertian di atas sanggup dipahami bahwa psikologi berguru intinya mencurahkan perhatiannya pada sikap (perbuatan-perbuatan) ataupun tindak-tanduk orang-orang yang melaksanakan kegiatan berguru dan mengajar atau orang-orang yang terlibat pribadi dalam proses pembelajaran.
Dalam kegiatan berguru mengajar sarat dengan muatan psikologis. Aspek-aspek psikologis ini harus dipahami dan diperhatikan oleh dosen dan guru untuk mendukung keberhasilan dalam proses pembelajaran.

Manusia ialah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa insan ialah makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Dalam teori pendidikan lama, yang dikembangkan di dunia barat, dikatakan bahwa perkembangannya seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme), sebagai lawannya berkembang pula teori yang mengajarkan bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh lingkungannya (empirisme), sebagai sintesisnya dikembangkan teori ketiga yang menyampaikan bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungannya (konvergensi).

Manusia ialah makhluk utuh yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani sebagai potensi pokok, insan yang mempunyai aspek jasmani, disebutkan dalam surah al Qashash ayat : 77 yang artinya : “Carilah kehidupan alam abadi dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadamu dihentikan melupakan urusan dunia“

B. Manusia Dalam Perspektif Islam
Manusia dalam perspektif Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak sanggup dipisahkan dari aspek rohani tatkala insan masih hidup didunia. Manusia mempunyai aspek akal. Kata yang digunakan al Qur’an untuk memperlihatkan kepada budi tidak hanya satu macam. Harun Nasution membuktikan ada tujuh kata yang digunakan :
1. Kata Nazara, dalam surat al Ghasiyyah ayat 17 yang artinya :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana beliau diciptakan”

2. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 yang artinya :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”

3. Kata Tafakkara, dalam surat an Nahl ayat 68 yang artinya :
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah : “buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempattempat yang dibikin manusia”.

4. Kata Faqiha, dalam surat at Taubah 122 yang artinya :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka wacana agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu sanggup menjaga dirinya”

5. Kata Tadzakkara, dalam surat an Nahl ayat 17 yang artinya :
“Maka apakah (Allah) yang membuat itu sama dengan yang tidak sanggup membuat apa-apa? Maka mengapa kau tidak mengambil pelajaran”.

6. Kata Fahima, dalam surat al Anbiya ayat 78 yang artinya :
“Dan ingatlah cerita Daud dan Sulaiman, diwaktu keduanya memperlihatkan keputusan mengenai tanaman, alasannya tumbuhan itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan ialah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu”.

7. Kata ‘Aqala, dalam surat al Anfaal ayat 22 yang artinya :
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa".

Manusia mempunyai aspek rohani ibarat yang dijelaskan dalam surat al Hijr ayat 29 yang artinya :
“Maka Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan kedalamnya roh-Ku, maka sujudlah kalian kepada-Nya”.

Manusia Sempurna Menurut Islam
a. Jasmani Yang sehat Serta Kuat dan Berketerampilan
Islam menghendaki biar orang Islam itu sehat mentalnya alasannya inti fatwa Islam (iman). Kesehatan mental berkaitan bersahabat dengan kesehatan jasmani, alasannya kesehatan jasmani itu sering berkaitan dengan pembelaan Islam. Jasmani yang sehat serta berpengaruh berkaitan dengan ciri lain yang dikehendaki ada pada Muslim yang sempurna, yaitu menguasai salah satu keterampilan yang dibutuhkan dalam mencari rezeki untuk kehidupan.

Para pendidik Muslim semenjak zaman permulaan - perkembangan Islam telah mengetahui betapa pentingnya pendidikan keterampilan berupa pengetahuan simpel dan latihan kejuruan. Mereka menganggapnya fardhu kifayah, sebagaimana diterangkan dalam surat Hud ayat 37 yang artinya :
“Dan buatlah perahu itu dibawah pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan jangan kau bicarakan dengan saya wacana orang-orang yang zalim itu alasannya meeka itu akan ditenggelamkan”.

b. Cerdas Serta Pandai
Islam menginginkan pemeluknya cerdas serta pintar yang ditandai oleh adanya kemampuan dalam menuntaskan problem dengan cepat dan tepat, sedangkan pintar di tandai oleh banyak mempunyai pengetahuan dan informasi. Kecerdasan dan kepandaian itu sanggup dilihat melalui indikator-indikator sebagai berikut :
a. Memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi.
b. Mampu memahami dan menghasilkan filsafat.
c. Rohani yang berkualitas tinggi.

Kekuatan rohani (tegasnya kalbu) lebih jauh daripada kekuatan akal. Karena kekuatan jasmani terbatas pada objek-objek berwujud materi yang sanggup ditangkap oleh indera. Islam sangat mengistemewakan aspek kalbu. Kalbu sanggup menembus alam ghaib, bahkan menembus Tuhan. Kalbu inilah yang merupakan potensi insan yang bisa beriman secara sungguh-sungguh. Bahkan keyakinan itu, berdasarkan al Qur’an tempatnya didalam kalbu.

C. Belajar Prespektif Agama Islam
Belajar merupakan acara insan yang sangat vital. Dibandingkan dengan makhluk lain, di dunia ini tidak ada makhluk hidup yang sewaktu gres dilahirkan sedemikian tidak berdayanya ibarat bayi manusia. Sebaliknya tidak ada mahkluk lain di dunia ini yang sesudah berilmu balig cukup akal bisa membuat apa yang telah diciptakan insan dewasa. Jika bayi insan yang gres dilahirkan tidak menerima derma dari orang dewasa, pasti binasalah ia. Ia tidak bisa hidup sebagai insan jikalau ia tidak diajar / di didik oleh insan lain, meskipun bayi yang gres dilahirkan itu membawa beberapa naluri / instink dan potensi-potensi yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya.

Menurut al-Zarnuji, berguru bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, berguru harus diniati untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, menyebarkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan. Dimensi duniawi yang dimaksud ialah sejalan dengan konsep pemikiran para hebat pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya bisa menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

Adapun dimensi ukhrawi, Al-Zarnuji menekankan biar berguru ialah proses untuk menerima ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, berguru sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur insan sebagai seorang hamba kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan akal. Lebih dari itu, hasil dari proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya sanggup diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu ialah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni untuk menyebarkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang berdasarkan al-Zarnuji akan sanggup menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun alam abadi kelak.

Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji menyampaikan bahwa para guru harus mempunyai perangai yang terpuji. Guru disyaratkan mempunyai sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), mempunyai kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, dan berumur (lebih bau tanah usianya). Di samping itu, al-Zarnuji menekankan pada “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru.

Dalam prespektif Islam tidak di jelaskan secara rinci dan operasional mengenai proses berguru (belajar), proses kerja sistem memori budi dan proses dikuasainya pengetahuan dan ketrampilan manusia. Namun Islam menekankan dalm signifikasi fungsi kognitif (akal) dan fungsi sensori (indera-indera) sebagai alat-alat penting untuk berguru sangat jelas. Kata-kata kunci ibarat ya’qilun, yatafardkkarun, yubshirun, yasma’un dan sebagainya terdapat dalam Al-Qur’an merupakan bukti betapa pentingnya penggnaan fungsi ranah cipta dan karsa insan dalam berguru dan meraih ilmu pengeatahuan.

Islam berdasarkan Dr. Yusuf Al-Qardhawi (1984) ialah kepercayaan yang berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan berdasarkan penyerahan diri secara membabi buta. 4 Hal tersebut terdapat dalam Al-Qur’an Surat Muhammad: 19 yang artinya "Maka ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah".

D. Ragam Alat Belajar
Islam memandang umat insan sebagai mahkluk yang dilahirkan dalam keadaan kosong, bersih, fitrah dan suci (teori tabula rasa = John Lock). Namun pada kenyataannya Tuhan Ynag Maha Esa memperlihatkan kelebihan baik dari segi jasmaniah maupun dari segi rohaniah sehingga insan sanggup berguru dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk kemakmuran diri insan itu sendiri.

Potensi yang diberikan kepada insan oleh Tuhan Yang Maha Esa terdapat dalam organ-organ fisio-psikis insan yang berfungsi sebagai alat-alat penting untuk melaksanakan kegiatan belajar. Adapun ragam alat fisio-psikis itu yang terungkap dalam beberapa firman Tuhan ialah sebgaai berikut :
  • Indera penglihat (mata), yakni alat fisik yang mempunyai kegunaan untuk mendapatkan informasi visual.
  • Indera pendengar (telinga) yakni alat fisik yang mempunyai kegunaan untuk mendapatkan informasi verbal.
  • Akal, yakni potensi kejiwaan insan berupa sistem psikis yang kompleks untuk menyerap, mengolah, menyimpan dan memproduksi kembali item-item informasi dan pengetahuan, ranah kognitif.
Alat-alat yang bersifat fisio-psikis dalam hubungannya dengan kegiatan berguru merupakan subsistem-subsistem yang satu sama lain berafiliasi secara fungsional. Dalam surat An-Nahl 78 Allah berfirman :
yang Artinya : ”Dan Allah mengeluarkan kau dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan beliau memberi kau pendengaran, penglihatan dan hati, biar kau bersyukur”.
Kata ”af’idah” dalam ayat ini berdasarkan seorang pakar tafsir Al-Quran Dr. Quraisy Shihab, (1992) berarti daya budi yaitu potensi atau kemampuan berfikir logis atau bisa di sebut dengan akal. Dalam tafsir ibnu Katsir Juz II af’idah artinya budi yang berdasarkan sebagian orang tepatnya di dalam jantung (qalb). Namun, kitab tafsir ini tidak menafikan kemungkina af’idah itu ada dalam otak (dimagh).

Sedemikian pentingnya arti daya budi akal dalam prespektif fatwa isalm, hal tersebut terbukti dengan dikisahkannya penyesalan para penghuni neraka alasannya keengganan dalam memakai budi mereka untuk memikirkan peringatan Allah. Dalam surat Al-Mulk ayat 10 dikisahkan :
yang Artinya: ”Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) pasti tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”.
Sehubungan dengan klarifikasi yang diuraikan di atas, muncullah pertanyaan wacana bagaimana fungsi kalbu (qalb) bagi kehidupan psikologis manusia? Arti konkret (bersifat fisik) qalb berdasarkan kamus Arab-Inggris Al-Maurid ialah heart (jantung) bukan lever (hati). Kata ”hati” yang biasanya digunakan untuk menterjemahhkan ”qalb” itu dalm bahasa arab disebut kabid. Menurut kamus Arab Indonesia Al-Munawir (1984), arti fisik qolb disamping ”jantung” juga ’hati’. Akan tetapi mungkin pengertian hati ini dimasukkan alasannya sudah terlanjur terkenal di kalangan penerjemah kitab-kitab arab di Indonesia. Dalam pengertian non fisik (yang bersifat abstrak) kamus Arab Indonesia mengartikan qalb sebagai al-’aql (akal); al-lubb (inti;akal);al-zakirah (ingatan;mental) dan al-quwwatul’ aqilah (daya pikir).

Selain hal itu, Kamus Arab-Indonesia Al-Maurid memperlihatkan arti non fisik Qolb dengan kata-kata : mind (akal) dan secret thought (pikiran tersembunyi/pikiran rahasia). Pengertian non fisik ibarat yang tersebut dalam kamus Al- Munawwir dan Al-Maurid itulah yang lebih cocok untuk memahami kata Qalb. Bahkan untuk menentukan arti non fisik budi untuk Qalb terasa lebih sesuai apabila kita memperhatikan firman Allah dalam surat Al-A’araf 179 :
yang Artinya : ”Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)”.

Hati berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah organ badan yang berwarna kemerah-merahan yang terletak di pecahan atas rongga perut yang fungsinya untuk mengambil sari makanan dan untuk memproduksi empedu. Sedangkan secara non fisik, kamus tersebut mengartikan hati sebagai daerah segala perasaan batin dan daerah menyimpan pengertian-pengertian. Pengertian non fisik berdasarkan KBI sama sekali tidak mengesankan arti ’tempat’ sebagi sinonim kata hati dalam arti fisik yang konkret.

Berdasarkan klarifikasi di atas yang perlu digaris-bawahi ialah bahwa hati dalam prespektif disiplin ilmu apapun tidak mempunyai fungsi mental ibarat otak. Sehingga pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam seluruh bidang studi hendaknya ditanamkan dalam otak para pelajar / siswa bukan lah di tanamkan dalam hatinya.

Memori permanen yang tersimpan dalam otak kita berfungsi menyimpan informasi, pengetahuan bahkan dalam keyakinan, (Besr, 1989; Reber, 1988; Anderson, 1990) selain itu memory permanen juga sanggup brfungsi sebagai materi penyimpanan semua kejadian-kejadin yang sudah usang berlalu. Namun berguru berdasarkan Robert Gagne, merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terdapat banyak sekali unsur yang saling terkait sehingga menghasilkan perubahan perilaku. Beberapa unsur dimaksud ialah sebagai berikut:
a). Pembelajar
Pembelajar sanggup berupa penerima didik, pembelajar, warga belajar, dan penerima latihan.

b). Rangsangan (stimulus)
Peristiwa yang merangsang penginderaan pembelajaran disebut situasi stimulus. Agar pembelajar bisa berguru optimal, ia harus memfokuskan pada stimulus tertentu yang diminati.

c). Memori
Memori pembelajar berisi banyak sekali kemampuan yang berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dihasilkan dari acara berguru sebelumnya.

d). Respon
Tindakan yang dihasilkan dari aktualisasi memori disebut respon. Pembelajar yang sedang mengamati stimulus, maka memori yang ada di dalam dirinya kemudian memperlihatkan respon terhadap stimulus tersebut.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas sanggup ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Sebagai suatu disiplin ilmu yang telah berdiri sendiri, psikologi telah banyak dipergunakan dan diimplementasikan dalam banyak sekali bidang kehidupan, ibarat pendidikan.

2. Psikologi berguru secara harfiah berarti lmu wacana jiwa atau ilmu jiwa. Secara istilah, psikologi berguru sanggup dimaknai sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji atau mempelajari tingkah laris individu (manusia) yang melaksanakan kegiatan berguru dan mengajar atau orang-orang yang terlibat pribadi dalam proses pembelajaran.

3. Manusia dalam perspektif Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak sanggup dipisahkan dari aspek rohani tatkala insan masih hidup didunia.

4. Manusia tepat berdasarkan Islam: jasmani yang sehat serta berpengaruh dan berketerampilan,cerdas serta pandai.

5. Dalam prespektif Islam tidak di jelaskan secara rinci dan operasional mengenai proses berguru (belajar), proses kerja sistem memori budi dan proses dikuasainya pengetahuan dan ketrampilan manusia. Namun Islam menekankan dalm signifikasi fungsi kognitif (akal) dan fungsi sensori (indera-indera) sebagai alat-alat penting untuk berguru sangat jelas.

B. Saran
Mengingat pentingnya psikologi berguru ini maka hendaknya para pendidik sanggup mempelajari dan menelaah konsep-konsep psikologi. Pemahaman dan pengimplemensian psikologi ini perlu untuk meningkatkan kompetensi guru dalam proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
penaagakmacet.blogspot.com/search?q=makalah-psikologi-belajar-dalam-islam
Djamarah, Syaiful Bahri. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Tohirin. 2008. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Sumber http://tugasku-4u.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Makalah Psikologi Berguru Dalam Perspektif Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel