Makalah Kultur Kedelai
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia, kedelai menjadi sumber gizi protein nabati utama, meskipun Indonesia harus mengimpor sebagian besar kebutuhan kedelai. Ini terjadi lantaran kebutuhan Indonesia yang tinggi akan kedelai putih. Kedelai putih bukan orisinil tumbuhan tropis sehingga alhasil selalu lebih rendah daripada di Jepang dan Tiongkok. kedelai merupakan tumbuhan dengan kadar protein tinggi sehingga tanamannya dipakai sebagai pupuk hijau dan pakan ternak.
Indonesia dikala ini mendapat pasokan kedelai terbesar dari Amerika dan Argentina. Konsumsi kedelai di negara kita ialah 2 juta ton/tahun dan komoditi kedelai telah menyedot devisa sebanyak 3 trilyun/tahun.
Indonesia dikala ini mendapat pasokan kedelai terbesar dari Amerika dan Argentina. Konsumsi kedelai di negara kita ialah 2 juta ton/tahun dan komoditi kedelai telah menyedot devisa sebanyak 3 trilyun/tahun.
Kedelai yang dibudidayakan bersama-sama terdiri dari paling tidak dua spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). G. max merupakan tumbuhan orisinil tempat Asia subtropik menyerupai Tiongkok dan Jepang selatan, sementara G. soja merupakan tumbuhan orisinil Asia tropis di Asia Tenggara. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia.Pemanfaatan utama kedelai ialah dari biji. Biji kedelai kaya protein dan lemak serta beberapa materi gizi penting lain, contohnya vitamin (asam fitat) dan lesitin (Crowder, 1990).
Salah satu teknologi cita-cita yang banyak dibicarakan dan telah terbukti memperlihatkan keberhasilan ialah melalui teknik kultur jaringan. Melalui kultur jaringan tumbuhan sanggup diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan lantaran faktor perbanyakannya yang tinggi. Bibit dari varietas unggul yang jumlahnya sangat sedikit sanggup segera dikembangkan melalui kultur jaringan. Pada tumbuhan perbanyakan melalui kultur jaringan, bila berhasil sanggup lebih menguntungkan lantaran sifatnya akan sama dengan induknya (seragam) dan dalam waktu yang singkat bibit sanggup diproduksi dalam jumlah banyak dan bebas penyakit.
Kultur jaringan ialah metode perbanyakan vegetatif dengan menumbuhkan sel, organ atau penggalan tumbuhan dalam media buatan secara steril dengan lingkungan yang terkendali. Tanaman bisa melaksanakan kultur jaringan kalau mempunyai sifat totipotensi, yaitu kemampuan sel untuk beregenerasi menjadi tumbuhan lengkap kembali.
1.2 Tujuan Dan Manfaat
1.1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk mengenal tumbuhan kedelai. Mengetahui sifat dari tumbuhan kedelai dan cara perbanyakannya secara kultur jaringan.
1.1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini ialah mengetahui sifat tumbuh kacang kedelai dan cara perbanyakannya secara kultur jaringan.
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Pengertian Kultur Jaringan
Kultur jaringan bila diartikan ke dalam Bahasa Jerman disebut Gewebe Kultur, dalam Bahasa Inggris disebut Tissue Culture, dalam Bahasa Belanda disebut weefsel kweek atau weefsel cultuur. Kultur jaringan atau budidaya in vitro ialah suatu metode untuk mengisolasi penggalan dari tumbuhan menyerupai protoplasma, sel, jaringan atauorgan yang serba steril, dalam botolkultur yang sterildan dalam kondisi yang aseptic, sehingga bagian-bagian tersebut sanggup memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tumbuhan yang lengkap (Husni et al., 2004).
Usaha memperoleh suatu individu gres dari satu sel atau jaringan dikenal sebagai kultur sel atau kultur jaringan. Kultur jaringan/Kultur In Vitro/Tissue Culture ialah suatu teknik untuk mengisolasi, sel, protoplasma, jaringan, dan organ dan menumbuhkan penggalan tersebut pada nutrisi yang mengandung zat pengatur tumbuh tumbuhan pada kondisi aseptik,sehingga bagian-bagian tersebut sanggup memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tumbuhan tepat kembali (Husni et al., 2004).
Menurut Slamet (2005), kultur jaringan dalam bahasa abnormal disebut tissue culture. Kultur ialah budidaya dan jaringan ialah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Jadi, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tumbuhan menjadi tumbuhan kecil yang mempunyai sifat menyerupai induknya.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tumbuhan yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Kultur jaringan termasuk jenis perkembangbiakan vegetatif yang prinsip dasarnya sama dengan menyetek. Bagian tumbuhan yang akan dikultur (eksplan) sanggup diambil dari akar, pucuk, bunga, meristem, serbuk sari (Pardal et al. 2005).
2.1.1 Teori Dasar Kultur Jaringan
a. Sel dari suatu organisme multiseluler dimanapun letaknya bersama-sama sama dengan sel zigot lantaran berasal dari satu sel tersebut (omne cellula ex cellula).
b. Teori Totipotensi Sel Teori sel oleh Slamet (2005) yang menyatakan bahwa sel mempunyai sifat totipotensi, yaitu bahwa setiap sel tumbuhan yang hidup dilengkapi dengan gosip genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan berubah menjadi tumbuhan utuh, kalau kondisinya sesuai. Teori ini mempercayai bahwa setiap penggalan tumbuhan sanggup berkembangbiak lantaran seluruh penggalan tumbuhan terdiri atas jaringan-jaringan hidup.
2.1.2 Kaitan Teori Totipotensi dengan Kultur Jaringan
Teori totipotensi yang menyatakan bahwa setiap sel tumbuhan sanggup berubah menjadi individu baru, dipakai sebagai dasar dalam pelaksanaan kultur jaringan. Dalam kultur jaringan penggalan tumbuhan yang terdiri atas sel-sel dan jaringan dibentuk sedemikian mungkin untuk ditanam di sebuah media yang steril dan lingkungan yang terkendali. Seperti teori totipotensi tersebut, penggalan tumbuhan yang ditanam di media tersebut ternyata sanggup bertumbuh dan berubah menjadi individu gres bila kondisinya sesuai (Pardal et al. 2005).
Perbedaan Perbanyakan Alami dan Kultur Jaringan
Ø Alami:
- Nutrisi diperoleh secara alami dari dalam tanah
- Tanaman sanggup menciptakan makanannya sendiri (autotrof)
- Sumber tumbuhan harus cukup umur
- Fotosintesis dengan santunan matahari
- Ada demam isu hujan dan kemarau yang tidak terkendali
Ø Kultur Jaringan
- Media terbuat dari nutrisi kimia
- Tanaman tidak menciptakan makanannya sendiri
- Sumber tumbuhan sedikit
- Fotosintesis dengan cahaya lampu
- Tidak dipengaruhi musim
2.1.3 Tipe-tipe Dari Kultur Jaringan
· Kultur biji (seed culture), kultur yang materi tanamnya memakai biji atau seedling.
· Kultur organ (organ culture), merupakan budidaya yang materi tanamnya memakai organ, seperti: ujung akar, pucuk aksilar, tangkai daun, helaian daun, bunga, buah muda, inflorescentia, buku batang, akar dll.
· Kultur kalus (callus culture), merupakan kultur yang memakai jaringan (sekumpulan sel) biasanya berupa jaringan parenkim sebagai materi eksplannya.
· Kultur suspensi sel (suspension culture) ialah kultur yang memakai media cair dengan pengocokan yang terus menerus memakai shaker dan memakai sel atau agregat sel sebagai materi eksplannya, biasanya eksplan yang dipakai berupa kalus atau jaringan meristem.
· Kultur protoplasma. eksplan yang dipakai ialah sel yang telah dilepas penggalan dinding selnya memakai santunan enzim. Protoplas diletakkan pada media padat dibiarkan semoga membelah diri dan membentuk dinding selnya kembali. Kultur protoplas biasanya untuk keperluan hibridisasi somatik atau fusi sel soma (fusi 2 protoplas baik intraspesifik maupun interspesifik).
· Kultur haploid ialah kultur yang berasal dari penggalan reproduktif tanaman, yakni: kepalasari/ anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/ pollen (kutur pollen), ovule (kultur ovule), sehingga sanggup dihasilkan tumbuhan haploid.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regenerasi
1. Bentuk Regenerasi dalam Kultur In Vitro : pucuk aksilar, pucuk adventif, embrio somatik, pembentukan protocorm like bodies, dll
2. Eksplan ,adalah penggalan tumbuhan yang dipergunakan sebagai materi awal untuk perbanyakan tanaman. Faktor eksplan yang penting ialah genotipe/varietas, umur eksplan, letak pada cabang, dan seks (jantan/betina). Bagian tumbuhan yang sanggup dipakai sebagi eksplan ialah pucuk muda, batang muda, daun muda, kotiledon, hipokotil, endosperm, ovari muda, anther, embrio, dll.
3. Media Tumbuh, Di dalam media tumbuh mengandung komposisi garam anorganik, zat pengatur tumbuh, dan bentuk fisik media. Terdapat 13 komposisi media dalam kultur jaringan, antara lain: Murashige dan Skoog (MS), Woody Plant Medium (WPM), Knop, Knudson-C, Anderson dll. Media yang sering dipakai secara luas ialah MS.
Komposisi media Murashige dan Skoog (MS) Dan Bahan Kimia Konsentrasi Media (mg/l)
1. NH4NO3 1650
2. KNO3 1900
3. CaCL2.2H20 440
4. MgSO4.7H20 370
5. KH2PO4 170
6. FeSO4.7H20 27
7. NaEDTA 37,3
8. MnSO4.4H20 22,3
9. ZnSO4.7H2O 8,6
10. H3BO3 6,2
11. KI 0,83
12. Na2MoO4.2H20 0,25
13. CuSO4.5H20 0,025
14. CoCl2.6H20 0,025
15. Myoinositol 100
16. Niasin 0,5
17. Piridoksin-HCL 0,5
18. Tiamin -HCL 0,1
19. Glisin 2
20. Sukrosa 30.000
2. KNO3 1900
3. CaCL2.2H20 440
4. MgSO4.7H20 370
5. KH2PO4 170
6. FeSO4.7H20 27
7. NaEDTA 37,3
8. MnSO4.4H20 22,3
9. ZnSO4.7H2O 8,6
10. H3BO3 6,2
11. KI 0,83
12. Na2MoO4.2H20 0,25
13. CuSO4.5H20 0,025
14. CoCl2.6H20 0,025
15. Myoinositol 100
16. Niasin 0,5
17. Piridoksin-HCL 0,5
18. Tiamin -HCL 0,1
19. Glisin 2
20. Sukrosa 30.000
4. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman Faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaan ZPT ialah konsentrasi, urutan penggunaan dan periode masa induksi dalam kultur tertentu. Jenis yang sering dipakai ialah golongan Auksin menyerupai Indole Aceti Acid(IAA), Napthalene Acetic Acid (NAA), 2,4-D, CPA dan Indole Acetic Acid (IBA). Golongan Sitokinin menyerupai Kinetin, Benziladenin (BA), 2I-P, Zeatin, Thidiazuron, dan PBA. Golongan Gibberelin menyerupai GA3. Golongan zat penghambat tumbuh menyerupai Ancymidol, Paclobutrazol, TIBA, dan CCC.
5. Lingkungan Tumbuh Lingkungan tumbuh yang sanggup mempengruhi regenerasi tumbuhan mencakup temperatur, panjang penyinaran, intensitas penyinaran, kualitas sinar, dan ukuran wadah kultur.
2.2 Sejarah Singkat Kedelai
Kedelai merupakan tumbuhan pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai kedelai yang kita kenal kini (Glycine max (L) Merril). Berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia, yang dibudidayakan mulai periode ke-17 sebagai tanaman makanan dan pupuk hijau. Penyebaran tumbuhan kedelai ke Indonesia berasal dari daerah Manshukuo menyebar ke tempat Mansyuria: Jepang (Asia Timur) dan ke negara-negara lain di Amerika dan Afrika (Crowder, 1990).
2.2.1 Taksonomi Tanaman Kedelai
Pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang sanggup diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merill. Klasifikasi tumbuhan kedelai sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Familia : Papilionaceae
Genus : Glycine
Species : Glycine max (L.) Merill
2.2.2 Morfologi Tanaman Kedelai
v Biji
Biji kedelai berkeping dua, terbungkus kulit biji dan tidak mengandung jaringan endospperma. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit biji kuning, hitam, hijau, coklat. Pusar biji (hilum) ialah jaringan bekas biji menempel pada dinding buah. Bentuk biji kedelai umumnya bulat lonjong tetapai ada pula yang bulat atau bulat agak pipih. biji kedelai mempunyai ukuran bervariasi, mulai dari kecil (sekitar 7-9 g/100 biji), sedang (10-13g/100 biji), dan besar (>13 g/100 biji). Bentuk biji bervariasi, tergantung pada varietas tanaman, yaitu bulat, agak gepeng, dan bulat telur. Namun demikian, sebagian besar biji berbentuk bulat telur, Biji kedelai tidak mengalami masa dormansi sehingga sesudah proses pembijian selesai, biji kedelai sanggup eksklusif ditanam. Namun demikian, biji tersebut harus mempunyai kadar air berkisar 12-13%. Biji kedelai yang kering akan berkecambah bila memperoleh air yang cukup. Kecambah kedelai tergolong epigeous, yaitu keping biji muncul diatas tanah. Warna hipokotil, yaitu penggalan batang kecambah dibawah kepaing, ungu atau hijau yang berafiliasi dengan warna bunga. Kedelai yang berhipokotil ungu berbunga ungu, sedang yang berhipokotil hijau berbunga putih. Kecambah kedelai sanggup dipakai sebagai sayuran (Crowder, 1990).
v Akar
Tanaman kedelai mempunyai akar tunggang yang membentuk akar-akar cabang yang tumbuh menyamping (horizontal) tidak jauh dari permukaan tanah. Jika kelembapan tanah turun, akar akan berkembang lebih ke dalam semoga sanggup menyerap unsur hara dan air. Pertumbuhan ke samping sanggup mencapai jarak 40 cm, dengan kedalaman hingga 120 cm. Selain berfungsi sebagai tempat bertumpunya tumbuhan dan alat pengangkut air maupun unsur hara, akar tumbuhan kedelai juga merupakan tempat terbentuknya bintil-bintil akar. Bintil akar tersebut berupa koloni dari kuman pengikat nitrogen Bradyrhizobium japonicum yang bersimbiosis secara mutualis dengan kedelai. Pada tanah yang telah mengandung kuman ini, bintil akar mulai terbentuk sekitar 15 – 20 hari sesudah tanam. Bakteri bintil akar sanggup mengikat nitrogen eksklusif dari udara dalam bentuk gas N2 yang kemudian sanggup dipakai oleh kedelai sesudah dioksidasi menjadi nitrat (NO3) (Crowder, 1990).
v Batang dan Cabang
Hipokotil pada proses perkecambahan merupakan penggalan batang, mulai dari pangkal akar hingga kotiledon. Hopikotil dan dua keeping kotiledon yang masih menempel pada hipokotil akan menerobos ke permukaan tanah. Bagian batang kecambah yang berada diatas kotiledon tersebut dinamakan epikotil (Crowder, 1990).
Kedelai berbatang dengan tinggi 30–100 cm. Batang sanggup membentuk 3 sampai 6 cabang, tetapi bila jarak antar tumbuhan rapat, cabang menjadi berkurang, atau tidak bercabang sama sekali. Tipe pertumbuhan batang sanggup dibedakan menjadi terbatas (determinate), tidak terbatas (indeterminate), dan setengah terbatas (semi-indeterminate). Tipe terbatas mempunyai ciri khas berbunga serentak dan mengakhiri pertumbuhan meninggi. Tanaman pendek hingga sedang, ujung batang hampir sama besar dengan batang penggalan tengah, daun teratas sama besar dengan daun batang tengah. Tipe tidak terbatas mempunyai ciri berbunga secara sedikit demi sedikit dari bawah ke atas dan flora terus tumbuh. Tanaman berpostur sedang hingga tinggi, ujung batang lebih kecil dari penggalan tengah. Tipe setengah terbatas mempunyai karakteristik antara kedua tipe lainnya (Crowder, 1990).
v Bunga
Sebagian besar kedelai mulai berbunga pada umur antara 5-7 minggu. Bunga kedelai termasuk bunga tepat yaitu setiap bunga mempunyai alat jantan dan alat betina. Penyerbukan terjadi pada dikala mahkota bunga masih menutup sehingga kemungkinan kawin silang alami amat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, berwarna ungu atau putih. Tidak semua bunga sanggup menjadi polong walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Sekitar 60% bunga rontok sebelum membentuk polong (Crowder, 1990).
Pembentukan bunga juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Pada suhu tinggi dan kelembaban rendah, jumlah sinar matahari yang jatuh pada ketiak tangkai daun lebih banyak. Hal ini akan merangsang pembentukan bunga. Tangkai bunga umumnya tumbuh dari ketiak tangkai daun yang diberi nama rasim. Jumlah bunga pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 2-25 bunga, tergantung kondisi lingkungan tumbuh dan varietas kedelai. Periode berbunga pada tumbuhan kedelai cukup usang yaitu 3-5 minggu untuk tempat subtropik dan 2-3 ahad di tempat tropik, menyerupai di Indonesia(Crowder, 1990).
v Daun
Tanaman kedelai mempunyai dua bentuk daun yang dominan, yaitu stadia kotiledon pada buku (nodus) pertama tumbuhan yang tumbuh dari biji terbentuk sepasang daun tunggal. Selanjutnya, pada semua buku di atasnya terbentuk daun beragam selalu dengan tiga helai. Helai daun tunggal mempunyai tangkai pendek dan daun bertiga mempunyai tangkai agak panjang. Masing-masing daun berbentuk oval, tipis, dan berwarna hijau. Permukaan daun berbulu halus (trichoma) pada kedua sisi. Tunas atau bunga akan muncul pada ketiak tangkai daun majemuk. Setelah tua, daun menguning dan gugur, mulai dari daun yang menempel di penggalan bawah batang (Crowder, 1990).
v Buah atau Polong
Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong sanggup mencapai lebih dari 50, bahkan ratusan. Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong menjadi maksimal pada dikala awal periode pemasakan biji. Hal ini kemudian diikuti oleh perubahan warna polong, dari hijau menjadi kuning kecoklatan pada saat masak (Crowder, 1990).
BAB III
PEMBAHASAN
Regenerasi tumbuhan merupakan tahapan penting dalam transformasi genetik. Kedelai tergolong tumbuhan rekalsitran, sehingga regenerasi sering tidak sanggup diulang (irreproducible), lantaran itu sulit mendapat metode regenerasi kedelai yang baku.
Dari tiga jurnal terkait yang membahas ihwal kultur jaringan ialah:
3.1 Perkembangan teknik aklimatisasi tumbuhan kedelai hasil regenerasi in vitro
Kegiatan penelitian yang melibatkan kultur in vitro, contohnya dalam perakitan tumbuhan transgenik, selain memerlukan sistem regenerasi yang konsisten dan teknik transformasi yang efektif dan efisien, juga perlu menguasai teknik aklimatisasi tumbuhan (Slamet et al. 2005). Aklimatisasi merupakan tahapan paling kritis dan sulit pada proses regenerasi tumbuhan secara in vitro. Kegagalan aklimatisasi tumbuhan merupakan hambatan yang banyak dijumpai di Indonesia. Oleh lantaran itu, tahapan ini memerlukan pengalaman dan penanganan yang sarat kehati-hatian lantaran aklimatisasi ialah mengadaptasikan planlet dari media kultur in vitro ke media tanah pada ruangan terbuka (Pardal et al. 2005).
Perakitan varietas unggul kedelai dengan bioteknologi tidak terlepas dari penggunaan teknik kultur jaringan atau kultur in vitro. Beberapa laba penggunaan teknik kultur in vitro adalah sanggup menyediakan bibit kultur yang sehat/bebas penyakit dengan waktu yang relatif singkat, dalam jumlah yang banyak, dan kondisi bibit yang seragam (Gunawan 1988). Beberapa sifat yang kurang menguntungkan yang dimiliki tumbuhan hasil regenerasi melalui kultur jaringan ialah lapisan kutikula kurang berkembang, jaringan pembuluh akar dan batang kurang sempurna, stomata tidak berfungsi, berkurangnya sel-sel palisade daun, dan lignifikasi batang (Gunawan 1988). Keadaan tersebut mengakibatkan bibit kultur rentan terhadap hama, penyakit, dan udara luar sehingga menyulitkan aklimatisasinya.
Hambatan utama pemulia kedelai dalam merakit tumbuhan sesudah menguasai teknik regenerasi ialah aklimatisasi tumbuhan (Slamet et al. 2005). Aklimatisasi tumbuhan kedelai sulit dilakukan sehingga penguasaan teknik aklimatisasi sangat penting lantaran akan memilih tahapan pengujian selanjutnya (Husni et al. 2004a). Keberhasilan aklimatisasi mempunyai arti penting lantaran proses perakitan varietas melalui beberapa tahapan dengan biaya yang mahal. Hingga dikala ini masih sulit mendapat teknik aklimatisasi yang berlaku umum (Slamet et al. 2005).
Teknik kultur jaringan juga sanggup diterapkan secara eksklusif untuk memperbaiki sifat tanaman, contohnya melalui teknik regenerasi embriogenesis somatik yang dikenal dengan keragaman somaklonal dan seleksi in vitro (Mariska 2002). Teknik ini sanggup dipakai untuk meningkatkan toleransi tumbuhan terhadap cekaman lingkungan pada lahan marginal, menyerupai keracunan Al dan pH masam pada tumbuhan kedelai (Hutami et al. 2003), padi (Purnamaningsih dan Mariska 2008), dan seleksi toleransi tumbuhan terhadap penyakit (Husni dan Kosmiatin 2005). Diperolehnya tumbuhan hidup dan berkembang sesudah aklimatisasi akan memilih kelangsungan pengamatandan pengujian tahap berikutnya dalam jadwal perbaikan tumbuhan melalui kultur in vitro. Setiap planlet atau benih somatik yang dihasilkan merupakan individu gres (Husni et al. 2004a). Dengan demikian, keberhasilan aklimatisasi merupakan salah satu tindakan evakuasi plasma nutfah yang tak ternilai.
Keberhasilan aklimatisasi kedelai ditentukan oleh banyak sekali faktor. Secara umum, faktor-faktor yang kuat terhadap keberhasilan aklimatisasi tumbuhan kedelai ialah kondisi planlet (ukuran bibit, perakaran), kondisi lingkungan (ketepatan media tumbuh yang dipakai dan kelembapan udara), ketepatan perlakuan pradan pascatransplantasi dari media in vitro ke media tanah, dan sanitasi lingkungan dari abuh penyakit.Kedelai ialah tumbuhan rekalsitran dan sensitif terhadap lingkungan. Salahsatu hambatan dalam perakitan kedelai unggul transgenik ialah kegagalan aklimatisasi. Oleh lantaran itu, untuk menghindari kehilangan kandidat putatif transgenik yang mempunyai sifat tertentu, sebelum diaklimatisasi perlu dilakukan perbanyakan secara in vitro.
3.2 Metode Induksi Pembentukan Embrio Somatik dari Kotiledon dan Regenerasi Plantlet Kedelai Secara In Vitro
Regenerasi tumbuhan kedelai (Glycine max [L.] Merr.) hasil kultur in vitro dapat dilakukan melalui proses organogenesis (pembentukan tunas adventif) atau proses embriogenesis somatik (pembentukan embrio somatik) dari eksplan (Komatsuda 1992, Bailey et al. 1993). Dalam percobaan ini dievaluasi kemampuan pembentukan ES primer dari 14 genotipe kedelai yang dikembangkan di Indonesia. Genotipe kedelai tersebut mewakili banyak sekali kelompok aksara tumbuhan kedelai yang bervariasi (Kasim & Djunainah 1993). Penelitian ini bertujuan memperoleh media terbaik untuk menginduksi pembentukan ES primer dari eksplan kotiledon dan ES sekunder dari eksplan ES
primer, mempelajari respons pembentukan ES primer dari 14 genotipe kedelai, dan memilih frekuensi perkecambahan dan pembentukan plantlet dari ES kedelai hasil kultur in vitro.
Eksplan kotiledon yang ditanam dalam media yang mengandung 2,4-D dengan atau tanpa NAA membentuk ES lebih banyak dibandingkan dalam media dengan NAA. Selain itu, media dengan 2,4-D lebih cocok untuk menginduksi pembentukan ES sekunder dari ES somatik primer kedelai. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan 2,4-D merupakan auksin terbaik untuk menginduksi pembentukan ES dari eksplan dibandingkan dengan tipe auksin lain (IAA, IBA, dan NAA) (Ranch et al. 1986, Shoemaker et al. 1991). Penanaman ES dalam media yang mengandung arang aktif biasanya tidak diharapkan untuk mendapat plantlet dari ES, tetapi kalau ES-nya masih dalam tahapan awal perkembangan penanaman ES dalam media dengan 1 g/l arang aktif perlu dilakukan semoga kotiledon dan radikula dari ES berkembang normal. Auksin dan sukrosa merupakan komponen penting dalam tahapan perkembangan ES secara in vitro. Pada kedelai, penggunaan media maturasi tanpa auksin dan dengan 30-50 g/l sukrosa meningkatkan frekuensi pembentukan ES dengan kotiledon dan radikula sehingga siap dikecambahkan (Merkle et al. 1990, Komatsuda et al. 1991). Pengecambahan ES tanpa melalui tahapan penanaman dalam media dengan arang aktif dilaporkan mengakibatkan terjadinya perkecambahan prematur sehingga menghasilkan plantlet yang lemah (Merkle et al. 1990, Raemakers et al. 1995).
3.3 Peningkatan Toleransi Kedelai Sindoro terhadap Kekeringan Melalui Seleksi In Vitro
Rendahnya keberhasilan pembentukan kalus embriogenik disebabkan oleh rendahnya eksplan steril sesudah irradiasi dan tekanan irradiasi yang sanggup mengakibatkan kerusakan pada jaringan eksplan serta sanggup mengakibatkan perubahan susunan nukleotida (Crowder, 1990). Kalus yang tetap hidup sesudah diseleksi, diinduksi pembentukan struktur embrio somatiknya. Struktur embrio somatik yang terbentuk berasal dari sel yang toleran terhadap PEG akhir adanya perubahan sifat genetik, sedangkan sel/kalus yang mati merupakan sel yang tidak toleran terhadap PEG.
v Aklimatisasi
Keberhasilan aklimatisasi akan memilih bisa tidaknya suatu somaklon sanggup diamati untuk pengujian berikutnya (Husni et al., 2004). Aklimatisasi kedelai ialah tahapan yang sangat kritis dengan keberhasilan yang masih rendah, dari 25 somaklon benih somatik yang diaklimatisasi, hanya 1 benih somatik yang sanggup hidup dan berproduksi, yaitu dari perlakuan PEG 25%.
v Analisa kandungan prolin
Prolin ialah asam amino yang proporsinya sanggup bertambah lebih cepat dari pada asam amino lainnya dalam jaringan tumbuhan pada kondisi kekeringan. Dengan demikian tinggi rendahnya kadar prolin dalam jaringan tumbuhan sanggup dipakai untuk mengevaluasi tingkat toleransi galur, varietas atau somaklon terhadap kekeringan kemampuan mengakumulasi prolin bebas pada varietas yang toleran kering selama kondisi cekaman kekeringan sangat positif dibandingkan dengan varietas peka. Dengan demikian sanggup disimpulkan bahwa kandungan prolin yang tinggi sanggup dijadikan sebagai kriteria seleksi toleransi terhadap kekeringan.
BAB IV
Kesimpulan Dan Saran
4.1 Kesimpulan
Aklimatisasi tumbuhan kedelai hasil kultur in vitro dipengaruhi antara lain oleh ukuran bibit, perakaran, media, kelembapan udara, dan serangan hamapenyakit. Aklimatisasi tumbuhan kedelai hendaknya memerhatikan beberapa hal, antara lain vigor tumbuhan bibit kultur, yaitu tinggi tumbuhan dan jumlah akar, serta sterilisasi lingkungan, termasuk media tanam dan komposisinya. Perlakuan yang tepat pada fase pra-/pasca transplantasi kuat positif terhadap keberhasilan aklimatisasi.
Pengecambahan ES tanpa melalui tahapan penanaman dalam media dengan arang aktif dilaporkan mengakibatkan terjadinya perkecambahan prematur sehingga menghasilkan plantlet yang lemah. Seleksi in vitro dengan penambahan PEG 20% sanggup dipakai sebagai metode seleksi untuk toleransi kekeringan pada kedelai
4.2 Saran
Saran penulis untuk penulisan selanjutnya harus lebih dalam menbahas ihwal kultur jaringan kedelai dan dengan rujukan yang lebih banyak lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Crowder, L.V. 1990. Genetika Tumbuhan. Universitas Gajah Mada Press. 70 hal.
Husni, A., S. Hutami, M. Kosmiatin, dan I. Mariska. 2004a. Pembentukan benih somatik dewasa kedelai dan aklimatisasi serta uji terhadap indikator sifat toleransi kekeringan. hlm. 159−169. Kumpulan Makalah Seminar Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor.
Husni, A., S. Hutami, M. Kosmiatin, I. Mariska. 2004. Seleksi in vitro tanaman kedelai untuk meningkatkan sifat toleran kekeringan. Jurnal Penelitian Pertanian. 23(2):93-100.
Hutami, S., I. Mariska, M. Kosmiatin, A.V. Novianti, dan D. Soepandie. 2003. Seleksi in vitro dan pengujian somatik kedelai toleran Al dan pH rendah. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 22(3): 167−175.
Kasim H, Djunainah. 1993. Deskripsi varietas unggul palawija: jagung, sorgum, kacang-kacangan, dan ubi-ubian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Indonesia.
Lestari, E.G., R. Purnamaningsih, dan S. Hutami. 1999. Perbanyakan tumbuhan tangguh melalui kultur in vitro. hlm. 287−294. Dalam 25 Tahun Badan Litbang Pertanian.
Mariska, I., Hobir, A. Husni, M. Kosmiatin, dan Y. Rosyadi. 1997. Kultur in vitro biji hasil persilangan panili budi daya dengan panili liar. Prosiding Simposium dan Kongres III PERIPI, Bandung, 24−25 September 1997.
Pardal, S.J., G.A. Wattimena, H. Aswidinoor, dan M. Herman. 2005. Transformasi genetik kedelai dengan gen proteinase inhibitor II memakai teknik penembakan partikel. J. AgroBiogen 1(2): 53−61. Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antaruniversitas Bioteknologi, IPB, Bogor. 298 hlm.
Purnamaningsih, R. dan I. Mariska. 2008. Pengujian nomor-nomor cita-cita padi tahan Al dan pH rendah hasil seleksi in vitro dengan kultur hara. J. AgroBiogen 4(1): 18−23.
Slamet, S.J. Pardal, dan M. Herman. 2005. Regenerasi kedelai (Glycine max L. Merr.) melalui kultur epikotil. Dalam M.S. Djati. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia: Tantangan dan peluang pengembangan bioteknologi pertanian menghadapi era globalisasi. Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, Malang.
Trijatmiko KR, Harjosudarmo J. 1996. Regenerasi tumbuhan kedelai melalui embriogenesis somatik. J Biotek Pertanian 1:53-59.
Widoretno, W. 2003. Seleksi in vitro untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan pada kedelai (Glycine max (L) Merr.) dan karakterisasi varian somaklonal yang toleran. Disertasi Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Sumber http://luqmanmaniabgt.blogspot.com
0 Response to "Makalah Kultur Kedelai"
Posting Komentar