-->

iklan banner

Makalah Kultur Gaharu



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Gaharu merupakan produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam bentuk gumpalan, serpihan atau abu yang mempunyai aroma keharuman khas yang bersumber dari kandungan materi kimia berupa resin (α-β oleoresin). Gaharu terbentuk dalam jaringan kayu, akhir pohon terinfeksi penyakit cendawan (fungi) yang masuk melalui luka batang (patah cabang). Komoditas gaharu telah cukup usang dikenal masyarakat secara umum. Beberapa jenis tumbuhan gaharu yang dikenal antara lain (Aquilaria malaccensis Lamk) yaitu salah satu jenis tumbuhan hutan yang mempunyai mutu sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi lantaran kayunya mengandung resin yang harum baunya. Gaharu berwarna coklat kehitaman hingga hitam, berbau harum jikalau dibakar. Gaharu terdapat pada belahan kayu atau akar dari jenis pohon penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akhir terinfeksi oleh sejenis jamur.
Pemanfaatan gaharu di Indonesia oleh Masyarakat Pedalaman Sumatera dan Kalimantan, telah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Gaharu dimanfaatkan antara lain untuk pengharum tubuh, ruangan, bahkan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Saat ini gaharu sangat sulit ditemukan sehingga perlu dipertahankan dan dilestarikan semoga jenis ini tidak punah. Selain mencegah kepunahan gaharu ini, pembudidayaan juga sanggup meningkatkan produksi gubal gaharu baik secara kualitas maupun kuantitas dan ekspor gaharu sanggup berjalan dengan lancar tanpa merusak hutan alam.

1.2.      Tujuan
Tujuan makalah ini yaitu untuk mengetahui :
1.      Untuk mengetahui pembuatan bibit tumbuhan Gaharu secara kultur jaringan.
2.      Menemukan kombinasi antara sumber eksplan dan dosis zat pengatur tumbuh yang terbaik terhadap pertumbuhan eksplan dalam menghasilkan tunas  pada medium Murashige dan Skoog (MS) secara kultur jaringan.

Baca Juga

1.3 Manfaat
Manfaat makalah ini sanggup menjadi salah satu alternatif untuk perbanyakan gaharu dalam pengadaan bibit gaharu dalam jumlah yang banyak dan relatif singkat dan penggunaan dosis zat pengatur tumbuh yang terbaik dalam perbanyakan tumbuhan gaharu.




















BAB II
ISI

2.1  Botanis Gaharu (A. malaccensis Lamk)
Gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan aneka macam bentuk dan warna yang khas, serta mempunyai kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau belahan pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akhir dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami maupun buatan, yang pada umumnya terjadi pada pohon gaharu.
Gaharu (A. malaccensis Lamk ) sanggup ditemukan di Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Iran, Laos, Malaysia, Myanmar, Philipina, Singapore, dan Thailand. Gaharu hanya diambil gubalnya yang mengeluarkan busuk harum. Keharuman gubal gaharu terbentuk oleh kayu yang mengalami pelapukan dan mengandung damar wangi (aromatic resin) sebagai akhir serangan jamur. Dengan kata lain, gaharu atau gubal gaharu merupakan substansi aromatik berupa gumpalan atau padatan berwarna coklat muda hingga coklat kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam dari kayu tersebut. Substansi aromatik yang terkandung dalam gubal gaharu ini termasuk dalam golongan sesquiterpena.
Taksonomi atau pembagian terstruktur mengenai gaharu (Aquilaria) yaitu sebagai berikut :
Kingdom         : Plantae
Divisio             : Spermatophyta
Class                : Dicotyledonae
Ordo                : Myrtales
Family             : Thymeleceae
Genus              : Aquilaria
Species            : A. malaccensis Lamk
      Secara ekologis jenis-jenis gaharu di Indonesia tumbuh di hutan primer terutama di dataran rendah, dan tempat pegunungan hingga ketinggian 2.400 m dpl. Umumnya gaharu yang berkualitas baik tumbuh pada tempat beriklim panas dengan suhu 28° - 34° C, kelembaban 60 – 80 %, dan curah hujan 1.000 – 2.000 mm/tahun (Sumarna, 2002 dalam Martesa 2006).
Tinggi pohon di tempat potensial, gaharu ini sanggup mencapai 4 meter dengan diameter 50 – 80 cm. Kulit batangnya licin berwarna putih atau keputih-putihan, lurus atau kadang kala beralur. Kayunya agak keras, daun lonjong memanjang dengan panjang 5 – 8 cm dan lebarnya 3 – 4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilat. Bunga berada diujung ranting atau ketiak daun belahan atas dan bawah. Buah berada di dalam polong berbentuk lingkaran atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm, dan lebar 3 cm (Sumarna, 2002 dalam Martesa 2006).

2.2  Pembentukan Gaharu
            Gaharu dihasilkan tumbuhan sebagai respon dari masuknya mikroba yang masuk ke dalam jaringan yang terluka. Luka pada tumbuhan berkayu sanggup disebabkan secara alami lantaran adanya cabang dahan yang patah atau kulit terkelupas, maupun secara sengaja dengan pengeboran dan penggergajian. Masuknya mikroba ke dalam jaringan tumbuhan dianggap sebagai benda asing sehingga sel tumbuhan akan menghasilkan suatu senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyakit atau patogen. Senyawa fitoaleksin tersebut sanggup berupa resin berwarna coklat dan beraroma harum, serta menumpuk pada pembuluh xilem dan floem untuk mencegah meluasnya luka ke jaringan lain. Namun, apabila mikroba yang menginfeksi tumbuhan sanggup mengalahkan sistem pertahanan tumbuhan maka gaharu tidak terbentuk dan belahan tumbuhan yang luka sanggup membusuk. Ciri-ciri belahan tumbuhan yang telah menghasilkan gaharu yaitu kulit batang menjadi lunak, tajuk tanaman menguning dan rontok, serta terjadi pembengkakan, pelekukan, atau penebalan pada batang dan cabang tanaman. Senyawa gaharu sanggup menghasilkan aroma yang harum lantaran mengandung senyawa guia dienal, selina-dienone, dan selina dienol. Untuk kepentingan komersil, masyarakat mengebor batang tumbuhan penghasil gaharu dan memasukkan inokulum cendawan ke dalamnya. Setiap spesies pohon penghasil gaharu mempunyai mikroba spesifik untuk menginduksi penghasilan gaharu dalam jumlah yang besar.

2.3  Manfaat Gaharu
            Gaharu banyak diperdagangkan dengan harga jual yang sangat tinggi. Selain ditentukan dari jenis tumbuhan penghasilnya, kualitas gaharu juga ditentukan oleh banyaknya kandungan resin dalam jaringan kayunya. Semakin tinggi kandungan resin di dalamnya maka harga gaharu tersebut akan semakin mahal dan begitu pula sebaliknya.
Sampai ketika ini, pemanfaatan gaharu masih dalam bentuk materi baku (kayu bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah terkubur. Setiap bentuk produk gaharu tersebut mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda. Gaharu mempunyai kandungan resin atau damar wangi yang mengeluarkan aroma dengan keharuman yang khas. Dari aromanya itu yang sangat popular bahkan sangat disukai oleh masyarakat negara-negara di Timur Tengah, Saudi Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan Cina, Korea, dan Jepang sehingga dibutuhkan sebagai materi baku industri parfum, obat-obatan, kosmetika, dupa, dan pengawet aneka macam jenis asesoris serta untuk keperluan kegiatan keagamaan. Seiringnya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, gaharu bukan hanya mempunyai kegunaan sebagai materi untuk industri wangi-wangian saja, tetapi juga secara klinis sanggup dimanfaatkan sebagai obat. Gaharu bisa digunakan sebagai obat: anti asmatik, anti mikroba, stimulant kerja syaraf dan pencernaan ,obat sakit perut, penghilang rasa sakit, kanker, diare, tersedak, tumor paru-paru, obat tumor usus ,penghilang stress, gangguan ginjal, asma, hepatitis, dan untuk kosmetik. 

2.4  Kultur Jaringan

Kultur jaringan dalam bahasa asing disebut dengan tissue culture, weefsel cultuus atau gewebe kultur. Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tumbuhan secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tumbuhan dengan cara mengisolasi belahan tumbuhan menyerupai daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga belahan tumbuhan sanggup memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tumbuhan lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan yaitu perbayakan tumbuhan dengan memakai belahan vegetatif tumbuhan memakai media buatan yang dilakukan di tempat steril.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tumbuhan yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, sanggup diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, bisa menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Pertumbuhan dan perkembangan jaringan pada kultur diarahkan berdasarkan tujuan yang diinginkan dengan memanipulasi komposisi medium dan lingkungannya.
Teori yang mendasari tehnik kultur jaringan yaitu teori sel oleh Schawann dan Scheleiden (1838) yang menyatakan sifat totipotensi ( total genetic potential) sel, yaitu bahwa setiap sel tumbuhan yang hidup dilengkapi dengan informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan berubah menjadi tumbuhan utuh, jikalau kondisinya sesuai ( Yusnita, 2003).
Menurut Santoso dan Nursandi (2003) ada beberapa faktor yang sanggup menghipnotis keberhasilan kultur jaringan yaitu:
1.   Genotipe
      Pada beberapa jenis tumbuhan embrio gampang tumbuh akan tetapi pada beberapa jenis tumbuhan lain sukar untuk tumbuh. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kultivar dari jaringan yang sama.
2.   Komposisi media makanan
Media untuk pertumbuhan embrio harus mengandung unsur hara makro, unsur hara mikro dan gula. Faktor penting lainnya yang dihentikan diabaikan yaitu adanya ion ammonium dan potassium.
3.      Oksigen
      Suplai oksigen yang cukup sangat memilih laju multiplikasi tunas dalam perjuangan perbanyakan secara In vitro.
4.   Cahaya
Kadang-kadang untuk perkembangan embrio membutuhkan tempat gelap kira-kira selama 7-14 hari. Baru dipindah ke tempat terperinci untuk pembentukan klorofil.
5.   Temperatur
Temperatur optimum yang dibutuhkan umumnya tergantung dari jenis tumbuhan yang digunakan. Secara normal temperatur yang digunakan yaitu antara 220° C-280° C.
6.   Lingkungan yang aseptik
Kondisi lingkungan sangat memilih terhadap tingkat keberhasilan pembiakan tumbuhan dengan kultur jaringan.
Selain suhu, kelembaban dan cahaya, Pierik (1982) menambahkan kondisi fisik yang paling baik dalam kultur jaringan yaitu pH. pH pada media makanan pengaruhnya belum diketahui. Dapat digunakan pH antara 5,0 - 6,5. Sedangkan berdasarkan Wetherell (1976) bahwa sel-sel tumbuhan yang ditumbuhkan secara in vitro mempunyai toleransi pH relatif sempit, dengan titik optimum antara pH 5,0 dan 6,0.

2.5  Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) yaitu senyawa organik yang bukan nutrisi tumbuhan yang dalam jumlah kecil atau konsentrasi rendah akan merangsang dan mengadakan modifikasi secara kualitatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penggunaan zat pengatur tumbuh bila digunakan  dengan konsentrasi rendah akan merangsang pertumbuhan tanaman, dan sebaliknya bila digunakan dalam jumlah besar/konsentrasi tinggi akan menghambat pertumbuhan bahkan sanggup mematikan tanaman. Beberapa zat pengatur tumbuh yang dikenal yaitu :
1.      Auksin       :  salah satu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman.
2.      Sitokinin    :  zat pengatur tumbuh ini mempunyai peranan dalam proses pembelahan sel
3.      Gibberelin : hormon tumbuh pada tumbuhan sangat besar lengan berkuasa pada sifat genetik, yang mempunyai peranan dalam mendukung perpanjangan sel, acara kambium dalam mendukung pembentukan RNA gres serta sintesa protein.
4.      Etilen         :  hormon tumbuh yang secara umum berlainan dengan auksin, giberelin, dan sitokinin. Etilen mempunyai peranan penting dalam proses pematangan buah
5.      Inhibitor    : zat yang menghambat pertumbuhan pada tanaman, sering didapat pada proses perkecambahan, pertumbuhan pucuk atau dalam dormansi.
Zat pengatur tumbuh sangat dibutuhkan sebagai komponen medium bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan zat pengatur tumbuh di dalam medium, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Pembentukan kalus dan organ-organ ditentukan oleh penggunaan yang sempurna dari zat pengatur tumbuh tersebut.
Pada umumnya zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kultur jaringan yaitu dari golongan auksin dan sitokinin. Auksin yaitu senyawa yang dicirikan oleh kemampuan dalam mendukung terjadinya perpanjangan sel pada pucuk, dengan struktur kimia yang dicirikan dengan adanya cincin indole. Auksin sebagai salah satu hormon tumbuhan bagi tumbuhan mempunyai peranan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dimana hormon tumbuh ini besar lengan berkuasa terhadap perpanjangan sel, menghambat pertumbuhan tunas ketiak (lateral), merangsang pembelahan sel pada tempat kambium serta mempercepat pertumbuhan akar (Heddy, 1986).
Auksin sintetik yang sering digunakan yaitu Naptalene Acetic Acid  (NAA) lantaran lebih tahan dan stabil. Pada penelitian Martesa (2006) dengan santunan NAA 0,175 mg/l + 5,0 mg/l BAP pada medium MS ada beberapa yang belum mengalami pembentukan kalus, hal ini diduga lantaran konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA yang kurang optimal dari media tersebut. Sedangkan pada penelitian Agustunine (1999) melaporkan bahwa pada tumbuhan Gmelina arborea Linn konsentrasi yang terbaik bagi pertumbuhannya yaitu NAA 0,05 mg/l + BAP 0,25 mg/l. NAA dari golongan ini telah digunakan secara luas untuk menginduksi kalus baik gymnospermae dan angiospermae. Perakaran umumnya diinduksi dari kalus lantaran peranan hormon NAA ini. 6-Benzylaminopurin (BAP) yaitu sitokinin sintetis, dimana struktur kimianya sama dengan kinetin tetapi lebih efektif. BAP digunakan untuk pembentukan kalus, tetapi yang paling baik yaitu untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan dari tunas. BAP juga sedikit menginduksi perakaran. Menurut Raharja (1993), sitokinin termasuk hormon yang sanggup menghipnotis pembelahan sel pada jaringan tumbuhan yang ditumbuhkan pada media buatan. Perlu diketahui bahwa dalam beberapa keadaan pembentukan akar akan mengikuti pembentukan tunas, tetapi BAP dengan konsentrasi yang tinggi dan masa yang panjang seringkali menimbulkan regenerasi tumbuhan sulit berakar dan sanggup menimbulkan penampakan pucuk abnormal. Menurut Pierik (1987) , BAP dalam konsentrasi tinggi (1-10 mg/l) sanggup menginduksi tunas. Penelitian Duma (1995) hanya menghasilkan kalus dari eksplan kotyledon A. mangium dengan penambahan 0,01 mg/l NAA dan 5 mg/l BAP. Sedangkan  Martesa (2006) melaporkan pembentukan kalus gres dan tunas pada gaharu dengan penambahan 0,175 mg/l  NAA dan 5,0 mg/l BAP .
Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) dalam pertumbuhan jaringan tanaman, sitokinin besar lengan berkuasa terutama pada pembentukan sel. Bersama-sama dengan auksin menunjukkan imbas interaksi terhadap diferensiasi jaringan. Pada santunan auksin dengan kadar yang relatif tinggi diferensiasi kalus cenderung ke arah pembentukan akar, sedangkan pada santunan sitokinin dengan kadar yang relatif tinggi perkembangan kalus akan cenderung ke arah pembentukan batang dan tunas.

2.6  Sumber Eksplan
Eksplan yaitu bahan tanaman yang digunakan dalam kulturisasi. Eksplan ini menjadi materi dasar dalam pembentukan tunas. Bagian tumbuhan yang bersifat meristematik antara lain terdapat pada ujung batang dikenal dengan meristem apikal, sedangkan meristem yang terdapat pada kuncup di ketiak daun disebut meristem aksiler. Bagian tumbuhan yang sanggup digunakan sebagai eksplan yaitu kotiledon, daun, akar, tunas pucuk, empulur batang, potongan batang satu buku, umbi lapis, dan belahan bunga (Indrianto dalam Ike Martesa 2006) . Menurut Yusrianti (2002) sumber eksplan yang terbaik yaitu berasal dari pucuk yang bisa menginduksi kalus ulin paling cepat dibandingkan dengan sumber eksplan batang. Selanjutnya Asnawati (1998) menyatakan sumber eksplan terbaik yaitu berasal dari apeks dalam  pembentukan tunas Accacia mangium Wild. Menurut Irawati (2005) dalam kultur pucuk biasanya media mengandung auksin dan sitokinin dengan konsentrasi sitokinin lebih tinggi dari auksin lantaran sitokinin sanggup mengatasi kemunduran daya tumbuh apabila pertumbuhan terganggu.
         Pemgambilan materi tumbuhan sanggup pribadi dari tumbuhan pintar balig cukup akal yaitu pada belahan pucuk tanaman, daun dan umbi. Cara ini membutuhkan waktu yang cepat, disamping itu materi eksplan sanggup diambil dari tumbuhan hasil seedling, biji yang akan ditanam yaitu biji yang cukup bau tanah dan sebaiknya jangan mengambil yang telah dijual dipasaran, supaya hasil yang diperoleh dijamin kualitasnya. Biji yang digunakan pribadi dipetik dari pohon induknya atau yang dijual dibalai benih (berserikat) tempat penanaman memakai pot, sesudah tumbuh tumbuhan tersebut sanggup dipotong menjadi materi eksplan.

  2.7 Konsep Pengambilan Ekplan
Gaharu yaitu sejenis kayu dengan aneka macam bentuk dan warna yang khas, serta mempunyai kandungan kadar damar wangi, berasal dari pohon atau belahan pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akhir dari proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada pohon tersebut, dan pada umumnya terjadi pada pohon A. malaccensis Lamk. Karena nilai jual gaharu yang tinggi, permintaaan pasar akan gaharu terus meningkat. Oleh lantaran itu upaya pembudidayaaan gaharu perlu dilakukan.
Salah satu upaya pembudidayaan dalam perbanyakan tumbuhan gaharu yaitu dengan teknik kultur jaringan. Pada kultur jaringan materi tumbuhan dan zat pengatur tumbuh merupakan faktor yang menghipnotis pertumbuhan dan morfogenesis suatu kultur, dimana untuk tumbuh dan berkembang dibutuhkan jaringan yang sedang aktif tumbuh, nutrisi dan hormon yang cukup untuk merangsang pembelahan dan diferensiasi sel. Eksplan sanggup diambil dari semua belahan tumbuhan menyerupai pucuk, daun, cabang, batang, petiol, akar, biji, embrio, tunas, kambium, epikotil, kotiledon, hipokotil, meristem apikal, bunga, serbuk sari, buah termasuk bakal buah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Eksplan yang berasal dari belahan yang berbeda akan menunjukkan respon yang berbeda pula terhadap pengerjaan yang dilakukan, lantaran setiap belahan dari badan tumbuhan mempunyai sifat, bentuk serta susunan jaringan dan kandungan hormon untuk mendorong pertumbuhan yang berbeda, sehingga dalam penggunaanya akan menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan yang berlainan.
Pada dasarnya setiap jaringan yang sedang mengalami pertumbuhan terhadap zat pengatur tumbuh dalam kadar tertentu yang berbeda untuk masing-masing belahan tanaman. Seringkali penambahan zat pengatur tumbuh dari luar dibutuhkan dengan konsentrasi tertentu untuk mencukupi kebutuhan zat tumbuh yang tidak terpenuhi secara endogen. Penambahan zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi yang sama sanggup menunjukkan pertumbuhan yang berlainan pada tiap belahan tanaman. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan pada media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen tersebut akan memilih arah perkembangan eksplan.
Keseimbangan kombinasi antara auksin (NAA) dan sitokinin (BAP) juga menghipnotis perkembangan dari eksplan. Kombinasi sitokinin dan auksin pada setiap tumbuhan berbeda-beda tergantung pertumbuhannya serta faktor lain yang menghipnotis eksplan. Pada sebagian besar tumbuhan santunan sitokinin dalam konsentrasi yang lebih tinggi dari pada auksin akan mendorong pembentukan tunas, sedangkan santunan auksin dalam konsentrasi yang lebih tinggi daripada sitokinin akan mendorong pembentukan akar. 
Berdasarkan fatwa di atas, maka dalam penelitian ini digunakan eksplan yang berasal dari batang dan pucuk serta 5 kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh yaitu NAA dan BAP, sehingga dimungkinkan untuk mengetahui perkembangan jenis (A. malaccensis Lamk) secara kultur jaringan.
















DAFTAR PUSTAKA


Anonym. SNI 01-5009.1-1999: Gaharu. Badan Standar-disasi Nasional (BSN).  1999

Soehartono, Tonny; Gaharu: Kegunaan dan Pemanfaatan.  Disampaikan pada Lokakarya Tanaman Gaharu di Mataram tanggal 4 – 5 September 2001
Santoso, U. dan Nursandy, F..2004. Kultur Jaringan Tanaman. Edisi II. Universitas Muhamadyah Malang Press. Malang.
Standar Nasional Indonesia. 1999. Gaharu. Jakarta. Diakses dari http://www.bpdas musi.net/_userdata/BkGaharu.pdf.
Sumarna, Y. 2005. Budidaya Gaharu. Penebar Swadaya. Edisi ke II. Jakarta. Universitas
Rohadi, Dede dan Suwardi Sumadiwangsa, Prospek dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia: Suatu Tinjauan dari Perspektif Penelitian dan Pengembangan, Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu di Mataram.
Sumber http://luqmanmaniabgt.blogspot.com

Related Posts

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Makalah Kultur Gaharu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel