Budaya Dan Tradisi Angklung Caruk
Budaya dan Tradisi
Angklung Caruk
Angklung ialah alat musik tradisional Indonesia, terbuat dari batang pohon bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan ( bunyi disebabkan oleh benturan tubuh pipa bambu ) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar.
Sejarah Angklung
Baca Juga
Dalam rumpun kesenian yang memakai alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung dan calung. Adapun jenis bambu yang biasa dipakai sebagai alat musik tersebut ialah awi wulung ( bambu berwarna hitam ) dan awi temen ( bambu berwarna putih ). Purwa rupa alat musik angklung dan calung menyerupai sama; tiap nada ( laras ) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan ( batangan ) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar, dalam susunan nada 2, 3, hingga 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras ( nada ) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan ialah salendro/ slendro dan pelog.
Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri/ Nyai Sri Pohaci turun ke Bumi supaya flora padi rakyat tumbuh subur, serta upaya nyinglar ( tolak bala ) supaya cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun musibah lainnya. Perenungan masyarakat Sunda dalam mengolah pertanian ( tatanen ) terutama di sawah dan huma dahulu, telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci.
Keterangan sejarah tertua mengenai angklung ialah dipergunakannya waditra ( alat ) ini sebagai musik perang Kerajaan Sunda dalam kancah Perang Bubat tahun 1357. Selama perang terjadi, angklung menyebar hingga ke Jawa Timur. Dikisahkan dalam Negarakertagama, ketika Hayam Wuruk berkunjung ke Jawa Timur tahun 1359, ia disambut alunan angklung yang dimainkan rakyat. Angklung kemudian menyebar ke Banyuwangi, terlihat dengan adanya angklung caruk, hingga ke Bali, dengan adanya cumang kirang, alat musik logam yang identik dengan angklung.
Pada era ke-17, Sultan Ageng yang menyayangi kesenian, kerap menggelar kesenian angklung di Keraton Banten. Para pemainnya berasal dari Banten dan Bali. Pada masa ini, angklung menyebar hingga ke Kalimantan dan Sumatra. Saat Belanda menyerang Banten, Sultan Ageng mengerahkan rakyatnya untuk melawan. Untuk memperabukan semangat juang, angklung dipakai sebagai musik perang. Lagu perang yang populer berjudul Balagajur. Sayang, perlawanan itu dipatahkan dan Banten takluk pada Belanda. Sejak itu, angklung dihentikan dimainkan lantaran suaranya yang dimainkan bahu-membahu dinilai sakral dan sanggup membangkitkan semangat perlawanan rakyat. Itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat memakai angklung, pelarangan itu sempat menciptakan popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.
Pada tahun 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, kemudian permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana. Perkembangan mengagumkan alat musik angklung sendiri ( baik bentuk ataupun nadanya ), hingga ketika ini tidak lepas dari jasa Daeng Soetigna , Udjo Ngalagena, Obby A.R. Melalui tokoh-tokoh inilah, alat musik angklung lebih dikembangkan dan kesudahannya bisa dikenal oleh hampir di seluruh dunia.
Angklung Di Banyuwangi
Tahun 1942, masa penjajah Jepang masuk Indonesia, ketika itu di Banyuwangi, tembang using ( lagu Banyuwangi ) memasuki babak baru. Muncul kreasi baru, yakni munculnya instrumen angklung. Sebenarnya, musik angklung sudah ada semenjak zaman kerajaan Blambangan. Namun, instrumen ini lebih banyak dimainkan untuk mengiringi banyak sekali jenis tarian. Angklung yang dipakai mengiringi tembang using ini ditemukan Mohamad Arif, pemusik andal dari Kelurahan Temenggungan, Banyuwangi. Pada dasarnya instrumen angklung tidak jauh beda dengan gamelan gandrung. Bedanya, musik angklung ditambahi beberapa alat musik lain menyerupai saron, slentem, dan gong besar.
Sebagai kreasi baru, musik angklung diterima dengan baik semua kalangan masyarakat using. Hal ini ditandai munculnya beberapa tembang gres menyerupai " Genjer-Genjer " dan " Nandur Jagung ". Tembang-tembang ini bercerita wacana paceklik berkepanjangan di bumi Blambangan tanggapan kejamnya penjajahan Jepang.
Jenis - jenis kesenian angklung yang berkembang di Banyuwangi ( Angklung Daerah ) cukup umur ini yaitu :
1. Angklung Paglak, pementasannya dilakukan di atas paglak ( gubuk kecil ) di tengah sawah.
2. Angklung Caruk, pementasan dua grup angklung yang dilaksanakan di atas panggung untuk memperlihatkan kemampuan dan keterampilan masing-masing.
3. Angklung Tetak, pengembangan dari angklung paglak. Dilakukan perubahan materi instrumen dan nada.
4. Angklung Dwi Laras, merupakan hasil pengembangan dari angklung tetak, penggabungan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro.
5. Angklung Blambangan, pengembangan terakhir angklung di daerah Banyuwangi.
Beberapa gending yang biasanya dimainkan dalam angklung daerah antara lain Jaran Ucul, Tetak-tetak, Gelang Alit, Mak Ucuk, Sing Duwe Rupo, Congoatang, Ulan Andung-andung, Mata Walangan, Ngetaki, Selendang Sutera, Padhang Ulan, dan sebagainya. Instrumen pengiring dalam kesenian jenis ini setidaknya terdiri dari angklung ( 2 set/unit ) saron ( 4 rancak @ 10 buah anak saron ), peking ( 2 rancak ), slenthem ( 2 rancak ), kethuk ( 2 biji ), gong ( 2 rancak ), gendang ( 2 rancak ), biola, seruling, dan terompet. Dalam seni angklung daerah diharapkan 10 orang untuk memainkan alat musik, beberapa orang penari, dan satu orang renta atau pendamping. Pada umumnya dalam 1 group angklung daerah jumlah pemainnya berkisar antara 20 - 25 orang pemain.
Angklung Caruk
Seni Angklung Caruk berasal dari jenis kesenian Legong Bali. " Caruk " dalam bahasa Using berarti " temu ". Kata dasar itu bisa diucapkan " Kecaruk " atau " Bertemu ". Kata " Angklung Caruk " artinya ialah dua kelompok kesenian angklung yang dipertemukan dalam satu panggung, saling beradu kepandaian memainkan alat musik berlaras pelog itu, dengan iringan sejumlah tembang Banyuwangian tujuannya untuk memperebutkan gelar sebagai group kesenian angklung yang terbaik. Meski tidak ada hukum secara tertulis, kedua kelompok kesenian itu semenjak puluhan tahun sudah memahi hukum yang menjadi kesepakatan. Sehingga, mereka tidak ada yang curang, tidak ada yang murka ketika kurang mendapatkan respon atau aplaus dari penonton. Kecepatan irama musik dan lagu-lagu yang dimainkannya sangat dipengaruhi oleh nuansa musik angklungritmis dari Bali. Namun dalam kesenian ini terdapat juga perpaduan antara nada dan gamelan slendro dari Jawa yang melahirkan kreativitas estetik. Dalam pertunjukan seni angklung caruk juga disajikan beberapa tarian yang biasanya dimainkan oleh penari laki-laki. Jenis-jenis tarian tersebut antara lain tari jangeran, tari gandrungan, cakilan, tari kuntulan, dan tari daerah Blambangan. Instrumen musik angklung caruk terdiri dari seperangkat angklung ( dua unit angklung ), kendang ( dua buah ), slenthem ( dua buah ), saron ( dua buah ), peking ( dua buah ), kethuk ( dua buah ), dan gong ( dua buah ).
Tradisi Angklung Caruk ialah citra betapa tingginya apresiasi warga Banyuwangi terhadap musik daerahnya. Dalam angklung caruk itu, pertama setiap kelompok masing-masing membawakan " larasan " yang menjadi andalan dengan seorang penari laki-laki yang disebut BADUT. Setelah selesai dan sesuai janji waktunya, maka giliran kelompok lain melaksanakan hal yang sama. Pada sesi berikutnya ialah Adol Gending, yaitu kelompok A misalnya, membawa intrumen beberapa ketukan dari sebuah lagu, untuk ditebak kelompok B. Apabila kelompok B sudah tahu, maka diberi kesempatan memotong dengan cara " ngosek " atau memukul gamelan secara tidak beraturan. Jika itu sudah terjadi, maka kelompok A harus menghentikan intrumennya dan memperlihatkan kesempatan kepada kelompok B untuk meneruskan intrumen itu. Jika ternyata masih salah, maka kelompok A akan mengambil kembali dengan " ngosek " kemudian meneruskan hingga tuntas. Ini juga berlaku kepada badut, mereka juga diadu variasi tariannya dengan lagu-lagu andalan yang dimiliki kelompok. Dalam tempo cepat, baik tarian maupun pukulan instrumennya tidak boleh ada yang salah.
Itulah citra sedikit wacana Angklung Caruk Banyuwangi yang penuh sportivitas. Selain masing-masing membawa supporter ( pendukung ), ada juga penonton netral yang siap memperlihatkan aplus kalau memang penampilan kelompok itu manis dan memukau. Namun bagi mereka yang kurang beruntung, caci makian dan ajukan penonton tetap diterimanya, sebagai pemicu supaya terus melaksanakan latihan dan meningkatkan insting/ kepekaan bermusiknya.
Berdasarkan dongeng para penabuh renta , dulu pentas Angklung Caruk sering melibatkan kekuatan supranatural untuk saling menjatuhkan lawan. Tetapi kini sudah makin positif alasannya ialah para supporter sudah sportif menghadapi kekalahan dan kemenangan. Disana juga selalu dihadirkan ahli-ahli angklung yang berwibawa. Dengan kehadiran para hebat ini maka kelompok-kelompok angklung dan supporternya tidak berani curang.
Semangat " caruk " dalam kehidupan sehari-hari, seharusnya menjadi pola bagi Wong Using kebanyakan. Selalu mempersiapkan segala sesuatu, menyerupai layaknya para " panjak " angklung yang latihan setiap hari, menjelang pentas " caruk ". Sehingga, ketika berlaga di panggung tidak akan mengecewakan. Jika itu semua sudah dilakukan maksimal, maka harus mendapatkan apapun hasilnya. Cacian atau " gojlokan " penonton, bukan sebagai hinaan. Melainkan sebagai cambuk, supaya perjuangan dan persiapan dilakukan lebih baik lagi. Kita juga harus mendapatkan kenyataan, kalau lawan caruk ( orang lain ) ternyata lebih unggul dan patut mendapatkan pernghargaan. Sakit hati dan iri terhadap kelebihan yang dimilki orang lain, bukan perilaku orang Using. Bersaing boleh, tetapi harus dilakukan secara sportif. Sepeti perilaku para Panjak, Badut dan penonton Angklung Caruk pada waktu mereka tampil.
Dulu di Banyuwangi ada kelompok Angklung yang terkenal, yaitu Angklung Pasinan Singojuruh, Angklung Mangir, Rogojampi dan Angklung Badas, juga Rogojampi. Apabila kedua kelompok Angklung itu dipertemukan dalam satu panggung, bisa dipastikan penontonnya membludak. Mereka kebanyakan penonton netral, tidak mewakili kelompok manapun. Namun mereka akan memperlihatkan aplaus, apabila penampilan salah satu dari mereka yang terlibat " caruk " itu memang bagus. Cacian dan " pisuhan " khas Banyuwangi, meluncur untuk mengomentari penampilan dari akseptor " caruk " yang tidak maksimal atau sering melaksanakan kesalahan. Namun tidak ada yang marah, apalagi bereaksi berlebihan.
Angklung Caruk Banyuwangi sering mengikuti program dan pameran budaya nasional, salah satunya mengikuti Pawai Budaya Nusantara yang diselenggarakan di Istana Merdeka yang prosesinya dari depan panggung kehormatan halaman depan Istana Merdeka ( Jalan Merdeka Utara ) menuju Jalan Medan Merdeka Barat dan berakhir di daerah Monas.
Budaya dan Tradisi Gandrung
Budaya dan Tradisi Seblang
Budaya dan Tradisi Janger
Budaya dan Tradisi Jaran Kecak Puja Gandrung
Budaya dan Tradisi Kebo Keboan
Budaya dan Tradisi Kuntulan
Budaya dan Tradisi Petik Laut Muncar
Budaya dan Tradisi Barong Kemmiren
Budaya dan Tradisi Angklung Caruk
Sumber http://ganangalfianto.blogspot.com
0 Response to "Budaya Dan Tradisi Angklung Caruk"
Posting Komentar