Mengapa Umat Hindu Melakukan Siwa Ratri?
Mengapa Umat Hindu Melaksanakan Siwa Ratri?
(Oleh: Gede Putra Adnyana, dari banyak sekali sumber)
1. Arti, Makna, dan Hakikat Siwa Ratri
Mengapa umat Hindu melaksanakan Siwa Ratri? Pertanyaan sederhana yang terkadang mendapat balasan keliru dan bahkan cenderung menyesatkan. Pertanyaan sederhana yang hendaknya mendapat balasan logis dan kritis. Siwa Ratri terdiri dari dua kata, Siwa yang artinya baik hati, suka memaafkan, menunjukkan harapan, menyelamatkan, membahagiakan dan Ratri yang artinya malam. Siwa juga berarti jelas dan Ratri berarti gelap. Siwa berarti Sanghyang Siwa dan Ratri berarti malam. Dengan demikian, Siwa Ratri mengandung arti malamnya Sanghyang Siwa untuk menyelamatkan insan dari kegelapan pikiran dan hati serta memberi cita-cita menuju jalan yang jelas untuk mencapai tujuan yaitu kebahagiaan.
Kegelapan pikiran berpotensi menghasilkan dosa. Oleh Karen itu, perlu ada perenungan dan introspeksi semoga tidak terjebak dalam dosa berikutnya. Siwa Ratri yaitu malam terbaik melaksanakan perenungan. Karena, Siwa Ratri yaitu ketika malam tergelap, penuh kesucian (nirmala), Sanghyang Siwa beryoga, dan gaya tarik bulan terkecil terhadap kehidupan. Sehingga, sangat tepat melaksanakan tapa, yoga, semadi atau perenungan terhadap perbuatan dosa masa kemudian dan masa sekarang semoga tidak terjerumus dalam perbuatan dosa berikutnya di masa datang. Dengan demikian, Siwa Ratri yaitu malam pencapaian pencerahan dan kesadaran diri.
Jadi, Siwa Ratri bukan malam peleburan Dosa, alasannya anutan Hindu tidak mengenal peleburan dosa. Dosa yaitu hasil perbuatan (karma) yang tetap menempel pada diri dan harus berbuah (phala). Dalam Siwa Ratri diharapkan segera ada kesadaran semoga terhindar dari papa (kegelapan pikiran dan jiwa) sehingga tidak menambah dosa. Oleh alasannya itu, pelaksanaan Siwa Ratri yaitu refleksi diri untuk memelihara kesadaran semoga terhindar dari dosa dan papa dengan selalu jagra, yakni sadar, eling atau melek terhadap perbuatan baik dan buruk.
Dalam Bhagavadgita III, 42, disebutkan bahwa “orang akan mempunyai alam pikiran jernih, apabila atman (jiwa yang suci) selalu menyinari budhi (kesadaran)”. Budhi (kesadaran) menguasai manah (pikiran), dan manah menguasai indria. Sehingga, jikalau tercapai kesadaran diri, maka indria akan sanggup dikendalikan. Budi (kesadaran) inilah yang akan dibangkitkan ketika melaksanakan Siwa Ratri (Siwa Latri), yakni dengan memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapat kesadaran semoga terhindar dari pikiran yang gelap. Jadi, Siwa Ratri yaitu malam peningkatan kesadaran atau malam pejagraan.
Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Yakni, selalu mengingat dan memuja nama Siwa yang mempunyai kekuatan melenyapkan kegelapan batin. Oleh alasannya itu, Siwa Ratri hendaknya dilaksanakan setiap bulan, yakni tiap menjelang tilem (purwaning). Sedangkan menjelang tilem kepitu (paling gelap) dilangsungkan upacara Maha Siwa Ratri. Dengan melaksanakan Siwa Ratri berarti telah melaksanakan Sanca dan Dyana. Dalam Lontar Wraspati Tattwa disebutkan, Sanca Ngaranya Netya Majapa Maradina Sarira. Sanca artinya melaksanakan japa dan membersihkan tubuh. Sedangkan dalam Sarasamuscaya disebutkan, Dhyana Ngaranya Ikang Siwasmarana, artinya, Dhyana yaitu selalu menyebut atau mengingat Hyang Siwa.
2. Purana Siwa Ratri
Ajaran Siwa Ratri bersumber dari empat purana, yakni Skanda Purana, Garuda Purana, Siva Purana, dan Padma Purana.
a) Skanda Purana (bagian Kedarakanda), bercerita ihwal percakapan Lomasa dengan para Rsi, menceritakan kejahatan Canda yang membunuh segala mahluk bahkan brahmana. Namun, kesudahannya sadar ihwal kebenaran melalui anutan Siwa Ratri.
b) Garuda Purana (bagian Acarakanda), menceritakan ihwal balasan Siwa atas pertanyaan Dewi Parwati bahwa anutan Siwa Ratri yaitu utama semoga roh terbebas dari eksekusi neraka.
c) Siwa Purana (bagian Jnanasamhita), menceritakan percakapan Suta dengan para Rsi ihwal Siwa Ratri dan kekejaman Rurudruha yang menjadi sadar sehabis melaksanakan anutan Siwa Ratri.
d) Padma Purana (bagian Uttarakanda), memuat percakapan raja Dilipa dengan Wasista. Wasista menceritakan bahwa Sivaratri yaitu vrata yang sangat utama, antara bulan Magha dan Palghuna. Salah satu Padma Purana yang terkenal dalam pelaksanaan Siwa Ratri di Bali yaitu Siwa Ratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Siwa Ratri Kalpa yaitu kekawin yang terdiri dari 20 wirama dan 232 bait, merupakan untaian narasi yang sarat makna dengan nuansa estetis.
3. Tata cara Pelaksanaan Siwa Ratri
Siwa Ratri dilaksanakan pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu), yakni sehari sebelum Tilem sasih Kapitu. Prawaning Tilem (sehari sebelum tilem) merupakan malam yang paling gelap. Posisi bulan, matahari dan bumi sangat besar lengan berkuasa terhadap kehidupan di bumi. Pada ketika tilem (bulan mati) efek gaya yang ditimbulkan bulan sangat kecil dan singkat sehingga sangat baik untuk melaksanakan semadi atau perenungan. Oleh alasannya itu, malam siwa ratri yang jatuh sehari sebelum tileming kepitu yaitu malam yang paling gelap sehingga efek bulan sangat kecil dan waktu terbaik untuk melaksanakan perenungan.
Sasih kepitu merupakan lambang sapta timira (tujuh sifat kemabukan) yang berujung kegelapan (dosa). Karena kuatnya keinginan duniawi maka insan akan dipenuhi klesa (kekotoran), menuju ke papa (kegelapan jiwa dan pikiran) yang pada akhirya akan bermuara kepada dosa. Oleh alasannya itu, dengan Siwa Ratri (Namasmaranâm pada Siwa) ada kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap ketika dalam hidup ini.
Pelaksanaan Siwa Ratri untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon. Sedangkan untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut:
1) Maprayascita sebagai pencucian pikiran dan batin;
2) Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian- Nya;
3) Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata mohon dukungan dan tuntunannya;
4) Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau sanggup pula pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, sanggup pula diletakkan pada suatu kawasan di halaman terbuka yang dipandang masuk akal serta diikuti sembahyang yang ditujukan kepada:
a) Sang Hyang Siwa dan
b) Dewa Samodaya.
Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir yaitu masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwa Ratri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.
5) Sementara proses itu berlangsung semoga tetap mentaati upawasa dan jagra.
6) Persembahyangan dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.
4. Tri Brata Siwa Ratri Sebagai Refleksi Diri
Siwa Ratri yaitu hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwa Ratri yaitu di mana Sang Hyang Siwa beryoga. Sehingga umat Hindu perlu melaksanakan penyucian diri dalam perjuangan menjadikan kesadaran diri (atutur ikang atma ri jatinya).
Berkaitan dengan hal itu, pelaksanaan Siwa Ratri patut diwujudkan dengan melaksanakan Tri Brata Siwa Ratri yang pada hakikatnya menguatkan unsur budhi. Jika budhi selalu mendapat sinar suci, maka akan menguatkan pikiran atau manah sehingga sanggup mengendalikan indria atau Tri Guna. Tri Brata Siwa Ratri, yakni monabrata, upawasa, dan jagra. Pelaksanaan Siwa Ratri tingkat utama, yakni Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara), Upawasa (tidak makan dan tidak minum), dan Jagra (berjaga, tidak tidur). Tingkat Madya, yakni Upawasa dan Jagra. Sedangkan tingkatan Nista, yakni Jagra. Monabrata berlangsung dari pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu hingga malam (12 jam), Upawasa berlangsung hingga dengan besok paginya (24 jam), sedangkan Jagra berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
Mona Brata artinya berdiam diri tidak bicara (membatasi bicara), tujuannya yaitu mengendalikan perkataan semoga tidak muncul ucapan yang tidak patut. Sangat dianjurkan pada ketika Siwa Ratri, membaca lontar/kitab suci, ibarat Bhagawad Gita, Ramayana, dan Sarasmuscaya. Dalam Niti Sastra V. 3, disebutkan bahwa “Wacika nimittanta manemu laksmi, Wacika nimittanta manemu duhka, Wacika nimittanta pati kapangguh, Wacika nimittanta manemu lmitra” Artinya, alasannya perkataan memperoleh bahagia, alasannya perkataan menemui kesusahan, alasannya perkataan menemukan kematian, dan alasannya perkataan memperoleh sahabat. Oleh alasannya itu, perkataan perlu dikendalikan demi kebahagiaan dan kedamaian.
Upuwasa artinya tidak makan dan tidak minum, yang bertujuan untuk mengendalikan diri dari keterikatan duniawi (warigya). Mengendalikan kuantitas dan kualitas makan dan makanan diyakini besar lengan berkuasa terhadap Tri Guna (sattwam, rajas, dan tamas).
Jagra artinya Sadar, yang diwujudkan dengan tidak tidur semalam suntuk. Dalam hal ini panca indera dibuka sepenuhnya dan diisi dengan anutan Suci. Dengan demikian, jagra bermakna selalu tetap mawas diri untuk mencapai kesadaran diri. Karena, kesadaran akan lenyap bila tertidur (turu) yang disebut dengan papa.
Dengan demikian, Siwa Ratri yaitu media introspeksi diri untuk senantiasa mawas diri. Siwa Ratri merupakan perenungan diri sehingga sanggup meminimalkan perbuatan dosa. Oleh alasannya itu, sangat baik pada malam Siwa Ratri dilakukan Dharma Tula (berdiskusi) dan membaca buku-buku suci, serta sangat mulia jikalau melantunkan “Om Namah Siwaya”.
5. Makna Aktual Siwa Ratri Dan Penafsiran Cerita Lubdaka
Di Bali, Siwa Ratri selalu dikaitkan dengan kisah Lubdaka karya Mpu Tanakung, yang sinopsis ceritanya, sebagai berikut: “Lubdaka yaitu seorang pemburu. Pada suatu hari, ia tidak sanggup hewan buruan, kemudian kemalaman dan naik ke pohon bila. Karena takut terjatuh, ia memetik daun bila dan dijatuhkannya ke dalam kolam. Maksudnya supaya ia tudak mengantuk dan tertidur. Ternyata di tengah kolam itu terdapat lingga (stana Hyang Siwa). Lubdaka kesudahannya mendapat anugerah” Penafsiran dari kisah Lubdaka, yakni:
a) Purwanining Tilem Kepitu (panglong ping 14 Sasih Kepitu), berdasarkan perhitungan wariga yaitu malam yang paling gelap dalam setahun perhitungan sasih, puncak gelapnya alam. Kepitu berarti bulan ketujuh yang bermakna peteng pitu pada buana agung, dan sapta timira pada insan (buana alit). Sapta timira artinya tujuh kemabukan (kegelapan), yakni Surupa (mabuk kerupawanan), Dana (mabuk kekayaan), Guna (mabuk kepintaran), Kulina (mabuk alasannya kebangsawanan), Yowana (mabuk alasannya keremajaan), Sura (mabuk alasannya minuman keras), dan Kasuran (mabuk kemenangan).
b) Jagra berarti tidak tidur, terjaga, awas, waspada, eling, dan sadar. Dalam situasi apapun jagra sangat diharapkan demi keselamatan dan keamanan. Terjadinya ketidaksadaran jiwa alasannya adanya belenggu panca indrya. Ketidaksadaran akan memperkuat musuh-musuh yang ada dalam diri insan (Sad Ripu). Niti Sastra menyebutkan, “tan hana satru menglewihaning ana geleng ri ati”, artinya tidak ada musuh melebihi musuh di dalam hati. Dalam kekawin Ramayana disebutkan, “Ragadi musuh mapara ri hati, ya tonggoania tan madoh ring awak”, artinya ragadi (nafsu) yaitu musuh utama di hati tempatnya tidak jauh dari badan. Adapun keenam macam Sad Ripu, yakni Kama (nafsu), Lobha (rakus), Krodha (marah), Moha (kebingungan), Mada (kemabukan), dan Matsarya (iri hati).
c) Upawasa artinya tidak makan dan minum (mengendalikan makan dan minum). Adalah upaya mengendalikan nafsu makan dan minum. Artinya, upaya untuk mengendalikan musuh-musuh yang ada di dalam diri (Sad Ripu). Karena susungguhnya, musuh inilah yang memunculkan tindakan kejahatan dan perbuatan dosa.
d) Mona brata artinya tidak bicara (mengendalikan pembicaraan). Berbicara berdasarkan atas kesadaran dharma atau kebenaran. Dalam Bhagawad Gita Bg. XVII: 15, menyebutkan bahwa “Berbicara tanpa menyinggung, melukai hati, sanggup dipercaya, lemah lembut, mempunyai kegunaan dan berdasarkan kitab suci (kebenaran), itulah yang disebut dengan bertapa dengan ucapan”
e) Dana Punya artinya pemberian tulus dan tulus sebagai bentuk pengamalan dharma. Ajaran dana punya, mencakup dharmadana (pemberian dalam bentuk wejangan/nasihat), widyadana (pemberian pengetahuan (pendidikan), dan arthadana (pemberian berupa artha). Ajaran dana punya bertujuan untuk membimbing insan menuju sifat welas asih dan kesempurnaan lahir bathin.
f) Senjata panah Lubdaka mengandung makna manah, budhi, pikiran, dan hati. Dalam hal ini manah untuk memburu hewan (satwa) yang bermakna sattwam. Jadi, dalam kehidupan terus memburu satwam (kemuliaan) untuk mencapai kebahagiaan.
g) Satwa yang diburu yaitu Gajah, Badak, Babi Hutan. Gajah = asti (bahasa Sansekerta) artinya astiti bhakti. Badak (warak) artinya tujuan dan babi (waraha) artinya wara nugraha. Dengan demikian, perburuan dalam kehidupan untuk mendapat wara nugraha yaitu dengan astiti bakti kepada Sanghyang Siwa.
h) Kolam (air telaga) bermakna cermin diri. Malam bermakna gelap (awidya, bodoh). Naik pohon (meningkatkan diri), daun bila (bilah/lontar, widya, ilmu pengetahuan), takut jatuh bermakna tidak ingi jatuh dalam kegelapan (dosa) berikutnya. Fajar menyingsing artinya mendapat pencerahan. Konsep tersebut sesuai dengan Bhagawad Gita Bg. IV: 36 yang menyebutkan bahwa “walau seandainya engkau insan yang paling berdosa diantara manusia-manusia yang memikul dosa, dengan bahtera ilmu pengetahuan ini lautan dosa akan sanggup engkau seberangi”. Artinya, dengan melaksanakan Siwa Ratri ada upaya untuk mencapai kesadaran dan pencerahan demi kebahagiaan.
6. Simpulan
a) Siwa Ratri berarti malamnya Sanghyang Siwa. Siwa Ratri juga berarti perubahan jelas menjadi gelap dan gelap menjadi jelas kembali. Pada hakikatnya, Siwa Ratri yaitu malam perenungan dosa (bukan peleburan dosa) yang bertujuan untuk mencapai kesadaran diri. Dengan demikian, Siwa Ratri yaitu malam penuh kesucian (nirmala), sehingga sangat baik memuja Siwa semoga keluar dari kegelapan.
b) Siwa Ratri yaitu momentum refleksi diri untuk memelihara kesadaran semoga terhindar dari perbuatan dosa dan papa dengan jalan jagra yang artinya sadar, eling atau melek, sehingga sanggup menghindari perbuatan dosa. Siswa Ratri bermakna untuk menguatkan Budhi (kesadaran) semoga sanggup menguasai manah (pikiran), sehingga sanggup mengendalikan indria atau Tri Guna. Oleh alasannya itu, Siwa Ratri (Siwa Latri) bermakna ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa”
c) Pelaksanaan Siwa Ratri untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon. Sedangkan untuk Walaka dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut: 1) Maprayascita sebagai pencucian pikiran dan batin, 2) Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, 3) Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata, 4) Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau Piasan atau Sanggah, 5) Sembahyang ditujukan kepada Sang Hyang Siwa dan Dewa Samodaya, 6) Masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya, 7) Tetap mentaati upawasa dan jagra, dan 8) Persembahyangan dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.
d) Tri Brata Siwa Ratri, yakni upawasa, monabrata dan jagra. Pelaksanaan Siwa Ratri tingkat utama, yakni Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara), Upawasa (tidak makan dan tidak minum), dan Jagra (berjaga, tidak tidur). Tingkat Madya, yakni Upawasa dan Jagra. Sedangkan tingkatan Nista, yakni Jagra. Monabrata berlangsung dari pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu hingga malam (12 jam), Upawasa berlangsung hingga dengan besok paginya (24 jam), sedangkan Jagra berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam)
e) Mona Brata bertujuan untuk melatih diri dalam hal berbicara. Sebaiknya pada ketika Siwa Ratri, dilakukan pembacaan lontar-lontar yang memuat anutan kesucian, ibarat Bhagawad Gita, Ramayana, dan Sarasmuscaya. Upawasa bertujuan untuk melatih pengendalian diri dengan menghilangkan keterikatan-keterikatan (warigya) sehingga sanggup melaksanakan konsentrasi (Semadi) dalam rangka pendekatan diri kepada Dewa Siwa. Sedangkan Jagra bertujuan semoga panca indra tetap terbuka sehingga sanggup diisi dengan anutan Suci sebagai pencerahan diri. Oleh alasannya itu, sangat perlu dilakukan Dharma Tula (berdiskusi), membaca buku-buku suci, dan melantumkan Om Namah Siwaya sepanjang malam untuk memperkuat diri sendiri.
f) Siwa Ratri yaitu ketika terbaik untuk merenungkan perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan pada massa lalu, apa yang sedang dilakukaan ketika ini, kemudian apa yang akan dilakukan di masa datang. Perenungan (refleksi) ini hendaknya dilakukan sebagai upaya perbaikan atau penyempurnaan kekurangan/keburukan masa kemudian menuju arah kemuliaan di masa kini. Pendek kata, melalui pelaksanaan Siwa Ratri akan disusun rencana untuk masa depan demi kebaikan, kemuliaan, dan kebahagiaan. (gpa)
Sumber http://putradnyanagede.blogspot.com
0 Response to "Mengapa Umat Hindu Melakukan Siwa Ratri?"
Posting Komentar