Zaman Kerikil Bau Tanah (Paleolithikum) : Bertahan Hidup Dengan Peralatan Yang Sederhana
Zaman watu bau tanah atau disebut paleolithikum yaitu zaman yang ditandai dengan alat-alat yang digunakan insan pada masa itu masih dikerjakan secara kasar.
Mata pencarian pada masa ini disebut masa berburu dan meramu kuliner secara sederhana.
Ada 4 jenis insan yang diperkirakan hidup di masa ini, menurut inovasi fosil-fosil disepanjang pemikiran sungai Bengawan Solo.
Ke empat jenis insan tersebut yaitu Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleoj4vanicus dan Homo Soloensis.
Baca Juga :
Kebudayaan mereka kebudayaan Pacitan dan Ngandong, menurut inovasi Von Koenigswald pada tahun 1935 berupa alat-alat watu dan kapak genggam di tempat Pacitan.
Selain di Pacitan, alat-alat dari zaman Paleplithikum ini temukan di tempat Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Selatan).
A. Ciri-Ciri Zaman Paleolithikum
1. Jenis Manusia
Berdasarkan inovasi fosil insan purba, jenis insan purba hidup pada zaman Paleolitikum yaitu Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus paleoj4vanicus, dan Homo Soliensis. Fosil ini ditemukan di pemikiran sungai Bengawan Solo.
2. Kebudayaan
Berdasarkan tempat penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum tersebut sanggup dikelompokan menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
Berdasarkan tempat penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum tersebut sanggup dikelompokan menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat watu dan kapak genggam di tempat Pacitan. Kapak genggam itu berbentuk kapak tetapi tidak bertangkai.
Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat berangasan dan belum dihaluskan. Para hebat menyebutkan bahwa kapak itu yaitu kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)
b. Kebudayaan Ngandong
Para hebat berhasil menemukan alat-alat dari tulang, flakes, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di tempat Ngandong dan Sidoarjo.
Selain itu di bersahabat Sangiran ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah mirip kalsedon.
Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh inovasi lukisan pada dinding goa mirip lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi Selatan)
Zaman Paleolithikum ditandai dengan kebudayan insan yang masih sangat sederhana.
Ciri-ciri kehidupan insan pada zaman Paleolithikum, yakni:
1. Hidup berpindah-pindah (Nomaden)
2. Berburu (Food Gathering)
3. Menangkap ikan
B. Alat-Alat Zaman Paleolithikum
Pada zaman ini alat-alat terbuat dari watu yang masih berangasan dan belum dihaluskan. Contoh alat-alat tersebut adalah:
Pada zaman ini alat-alat terbuat dari watu yang masih berangasan dan belum dihaluskan. Contoh alat-alat tersebut adalah:
1. Kapak Genggam
Kapak genggam banyak ditemukan di tempat Pacitan. Alat ini biasanya disebut "chopper" (alat penetak/pemotong).
Alat ini dinamakan kapak genggam lantaran alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam.
Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi watu hingga menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanyasebagai tempat menggenggam.
Kapak genggam berfungsi menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.
Kapak genggam dibuat dari gamping kersikan dan atau jenis batuan lainnya. Batu itu dibuat sedemikian rupa hingga mempunyai bentuk yang meruncing lonjong.
Pemangkasan dan penajaman dilakukan secara memanjang ke arah ujung runcingan, mencakup hampir ke seluruh serpihan permukaan batunya dan hanya meninggalkan sebagian kulit watu pada serpihan sisi permukaan untuk memudahkan ketika menggenggam ketika hendak digunakan.
Umumnya, kapak gengam masih dipahat secara berangasan mirip teknik yang sebelumnya dilakukan untuk menciptakan kapak perimbas, tetapi ada juga dalam beberapa perkara kapak genggam telah diserpih juga dihaluskan dengan lebih detail dan dibuat secara teratur.
Bentuk yang khusus ini terutama diketemukan baik di wilayah lembah Baksoko (sebelah barat Pacitan) maupun di tempat Tabuhan (Jawa Timur), dan sanggup digolongkan sebagai budaya yang mempunyai kemiripan dengan tingkat budaya Acheulean.
Bentuk yang paling umum dari kapak genggam menandakan alat ini terbuat dari watu inti yang kemudian dipertajam memakai kapak pemukul untuk menghasilkan tajaman di kedua sisinya.
Untuk mendapat hasil yang lebih dan rapih penatahan dilakukan secara berulang-ulang dan hati-hati.
Namun, pada beberapa budaya teknologi untuk menciptakan kapak genggam terlihat sangat rumit.
Misalnya, pada kapak genggam sumatra (sumatralith) yang pemrosesannya hanya di satu sisinya dan pada kapak genggam yang sangat runcing sehingga terkadang dianggap sebagai alat serpih besar.
Singkatnya, meskipun mempunyai tipologi yang gampang dikenali, nyatanya sangat sulit untuk mengidentifikasi sebuah artefak yaitu kapak genggam.
Hal ini menjadi rumit lantaran terkadang kapak genggam yaitu hasil dari kreatifitas si pembuat.
Tidak ada standar bentuk yang sama dan kompleksitas bentuk juga muncul dari niat si pembuat sehubungan dengan fungsi yang akan ia lekatkan pada alat yang ia buat.
Kapak genggam yaitu salah satu benda yang paling problematis dan kompleks dalam artefak Prasejarah.
Kapak genggam merupakan alat yang terus-menerus dikembangkan hingga mendapat bentuk yang lebih baik.
Hal ini terbukti dengan banyaknya temuan yang semakin jauh lebih baik dari temuan dalam beberapa lapisan yang sama.
2. Kapak Perimbas
Kapak perimbas berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata. Manusia kebudayan Pacitan yaitu jenis Pithecanthropus.
Alat ini juga ditemukan di Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), lahat, (Sumatra selatan), dan Goa Choukoutieen (Beijing).
Alat ini paling banyak ditemukan di tempat Pacitan, Jawa Tengah sehingga oleh Ralp Von Koenigswald disebut kebudayan Pacitan.
Kapak perimbas dibuat dengan cara meruncingkan watu pada satu sisi permukaannya untuk memperoleh serpihan tajaman.
Kulit watu masih menempel pada hampir semua serpihan permukaan yang tidak ditajamkan.
Bagian lain yang tidak dipertajam merupakan area pegangan yang cukup nyaman.
Kapak perimbas benar-benar dirancang untuk cocok di telapak tangan penggunananya.
Untuk menciptakan alat ini, seorang harus memakai dua watu untuk menciptakan sisi watu dengan tepian yang sangat tajam, yang memungkinkan untuk memotong dan membelah watu inti.
Kapak perimbas yang ditemukan banyak dibuat dari batuan kuarsa, kuarsit, basal, atau obsidian juga watu rijang dan watu lainnya yang gampang ditemukan di sekitar mereka.
Bagaimana pun, alat watu ini merupakan bukti dari keberadaan kehidupan pada masa paleolitik, yang sedikitnya sanggup memberi kita isu bagaimana kehidupan mereka, bagaimana pengetahuannya maupun budaya dan peradaban yang berkembang selama periode paleolitik.
Fungsi kapak perimbas yang banyak disepakati yaitu untuk menumbuk dan memotong.
Fungsi praktisnya mencakup sebagai alat yang digunakan untuk menumbuk tanaman atau biji-bijian, memotong daging buruan, sebagai pisau, penyayat dan juga mungkin sebagai salah satu alat untuk menumbuk serat-serat dari pepohonan yang sanggup digunakan sebagai pakaian.
Fungsi yang masih diperdebatkan yaitu kapak perimbas sebagai alat untuk berburu binatang atau sebagai senjata untuk menyerang lawan.
Manusia pada masa kemudian khususnya pada masa berburu tidak banyak mempunyai alat-alat watu yang berbeda untuk melaksanakan banyak sekali aktivitasnya.
Alat-alat yang spesifik dibuat untuk berburu binatang mungkin mirip panah dan tombak.
Tapi kapak perimbas sepertinya memang digunakan untuk banyak sekali tujuan. Kapak perimbas tidak digunakan untuk berburu.
Alat watu ini tidak cukup berpengaruh untuk benar-benar, bahkan sanggup melukai binatang mirip kudanil, tapi lain soal jikalau dilakukan oleh 20-30 orang.
L. Binfors kemudian mengusulkan sebuah teori yang cukup mencengangkan bagaimana insan berburu.
Menurutnya, pada masa paleolitik hewan-hewan itu dibunuh oleh binatang karnivora dan insan pada masa itu hanya sebagai pemulung.
Teori ini telah diuji oleh P. Shipman dan R. Potts, dengan temuan tulang yang mempunyai tandai gigi pada sisa tulang makanan, bukti ini memang cukup untuk menujukan kepada gagasan Binfors, insan masa kemudian selain berburu mereka juga merupakan pemulung.
3. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa
Salah satu alat peninggalan zaman paleolithikum yaitu alat dari tulang binatang.
Alat-alat dari tulang ini termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat dari tulang ini berupa alat penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi.
Fungsi dari alat ini yaitu untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini juga biasa digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan.
Cara yang terbilang cukup sederhana ketika memodifikasi tulang menjadi alat yaitu dengan memecahkan tulang tersebut pribadi dengan watu (kapak genggam).
Teknik ini biasanya dilakukan untuk mengambil sumsum yang bergizi dari rongga tulang.
Tulang panjang dari binatang besar ketika diretakan sanggup menjadi serpihan tajam yang pribadi sanggup digunakan menjadi penusuk atau pencongkel.
Teknik ini tampaknya serampangan tetapi ketika digabungkan dengan cara lain mirip pemotongan, penajaman lebih lanjut dan penghalusan, pecahan tulang tadi sanggup menjadi alat yang lebih canggih dan bermanfaat.
Tulang juga sanggup dipotong menjadi beberapa serpihan dengan pisau watu atau alat serpih yang bergerigi.
Setelah digergaji dengan kedalaman yang cukup, tulang sanggup dengan gampang dipatahkan memakai tangan.
Teknik lainnya yaitu dengan memutar ujung watu untuk menciptakan lubang atau memakai teknik penatahan secara hati-hati dengan memakai dua batu.
Untuk beberapa perkara mungkin telah digunakan teknik pencetakan alat tulang bau tanah semoga sanggup menggandakan bentuk yang sudah dianggap baik.
Dengan memakai alat-alat watu yang runcing dan tajam dan penggoresan yang terus menerus hingga kemudian ukiran itu menjadi dalam dan untuk selanjutnya dengan gampang dipisahkan mirip bentuk tiruannya.
Meskipun merendam tulang dalam air selama beberapa hari sanggup memperlambat proses pengerasan tulang, tulang segar dari binatang yang gres diburu mungkin dimanfaatkan dengan cepat untuk dijadikan sebuah alat.
Saat tulang masih baru, pemrosesan jauh lebih mudah. Setelah tulang kering, maka tulang itu akan menjadi sangat keras.
Sementara itu untuk memanfaatkan tanduk, mungkin perlu sedikit perjuangan yang ekstra dalam pengerjaannya.
Tanduk umumnya lebih keras tapi daya tahannya mengagumkan. Tanduk selain dijadikan alat serpih atau pisau, sanggup juga diproses menjadi mata tombak atau panah.
Membuat peralatan dari materi tulang binatang merupakan sebuah proses yang terus berkembang melewati banyak sekali masa hingga terus disempurnakan, baik itu bentuknya maupun bekerjasama dengan fungsinya.
Mungkin awalnya alat tulang ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, tapi seiring dengan perkembangannya, alat tulang juga telah berhasil diimplementasikan semoga sanggup memenuhi kebutuhan yang sifatnya sekunder.
4. Flakes
Flakes yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari watu Chalcedon, yang sanggup digunakan untuk mengupas makanan.
Flakes termasuk hasil kebudayaan Ngandong sama mirip alat-alat dari tulang binatang.
Kegunaan alat-alat ini pada umumnya untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan.
Alat serpih yang diketemukan pada tingkat palaeolitikum atau zaman watu bau tanah mungkin telah digunakan oleh pithecantrhopus (Mojokertensis dan Robustus) Meganthropus Paleoj4vanicus, Pekingnensis, Neanderthal, Cro-magnon, hingga kemudian dilanjutkan oleh para Homo Sapiens yang muncul belakangan.
Bahan batuan yang digunakan untuk menciptakan alat serpih yaitu jenis batuan tuf (silicified tuff), watu gamping kersikan (silicifed limestone), serta batuan endapan (sedimen).
Jenis batuan tersebut digunakan sebagai materi utama dalam menciptakan alat serpih lantaran mengingat sifatnya yang keras tetapi ketika dipukul akan terbelah (bukan hancur) sehingga memudahkan ketika pemrosesannya.
Namun, di banyak tempat mungkin batuan tersebut tidak ada, maka mereka memakai watu pasir, granit, quatrzites, kuarsa, watu vulkanik obsidian, dan materi lainnya yang tersedia.
Tradisi alat serpih dimungkinkan ada lantaran alat-alat tersebut memang sengaja diciptakan dan bukan sesuatu yang kebetulan.
Alat-alat serpih yang ditemukan biasanya mengatakan pemrosesan serta bentuk kerucut yang jelas.
Serpihan yang terjadi lantaran sebab-sebab alamiah biasanya “tidak terang bentuknya” contohnya pada serpihan patahan yang tidak mempunyai tanda riak mirip yang dibuat oleh manusia.
Prinsip dasar dalam pembuatan alat-alat watu yaitu menghilangkan sebagian dari watu awal.
Ini yaitu cara untuk menciptakan banyak sekali alat batu, baik itu kapak genggam, primbas, watu penetak, kapak persegi, atau kapak lonjong, tapi alat serpih menandakan karakteristik alat yang khusus dan bukan lantaran bekas serpihan dari alat lainnya.
Mungkin awalnya alat serpih memang tidak sengaja ditemukan dari hasil pecahan watu lainnya, tapi karakteristik selanjutnya menjunjukan alat serpih yaitu serpihan dari sebuah proses yang niscaya dan memang sengaja diciptakan.
Alat serpih dibuat dengan menghantam watu dengan kapak genggam hingga didapat serpihan yang diinginkan (pemukulan langsung) atau sanggup juga dengan memakai kapak persegi yang telah diberi tangkai dari tulang atau kayu untuk memisahkan serpihan dari watu pada dasarnya (pemukulan tidak langsung).
Dengan cara pemukulan tidak langsung, pembuatnya sanggup mengontrol ukuran dan bahkan bentuk yang diinginkan.
Beberapa alat serpih menandakan teknik pembuatan yang telah maju yang umumnya telah secara cermat terlepas dari watu pada dasarnya sehingga pada sejumlah alat terlihat contoh dataran pukulnya (teknik pseudo Levallois).
Sering juga ditemukan contoh pangkasan yang dilakukan ke masing-masing sisi dan bidangnya sehingga tercipta bentuk tajaman yang berliku.
Sumber :
penaagakmacet.blogspot.com/search?q=biografi-dewi-sartika
penaagakmacet.blogspot.com/search?q=biografi-dewi-sartika
http://www.wacana.co/2009/11/kapak-genggam/
http://www.wacana.co/2009/11/kapak-perimbas/
http://www.wacana.co/2012/10/alat-tulang-prasejarah/
http://www.wacana.co/2013/08/alat-serpih/
0 Response to "Zaman Kerikil Bau Tanah (Paleolithikum) : Bertahan Hidup Dengan Peralatan Yang Sederhana"
Posting Komentar