-->

iklan banner

Pengaturan Dan Kebijakan Dalam Menangani Korban Perdagangan Orang

Kebijakan proteksi pada korban pada hakikatnya merupakan serpihan integral yang tidak sanggup dipisahkan dari kebijakan perlindungan. Berdasarkan konsep tersebut, kiprah negara guna membuat suatu kesejahteraan sosial tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materiil dari warga negaranya, tetapi lebih dari itu guna terpenuhinya rasa kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas.
Indonesia telah mempunyai Undang-Undang yang secara khusus mengatur perihal Perlindungan Korban Kejahatan yaitu melalui Undang-Undang No.13 Tahun 2006 perihal Perlindungan saksi dan korban.
Selain mempunyai Undang-undang yang secara khusus mengatur perihal proteksi korban kejahatan, Indonesia juga mempunyai beberapa ketentuan yang mengatur perihal perlindungan. Dalam beberapa undang-undang tertentu sanggup ditemukan pengaturan perihal proteksi korban kejahatan sekalipun sifatnya masih parsial.
Perundang-undangan yang di dalamnya memperlihatkan pengaturan perihal proteksi korban kejahatan, diantaranya:

1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 perihal Perlindungan Saksi dan Korban
Dasar pertimbangan perlunya Undang-Undang yang mengatur proteksi korban kejahatan (dan saksi) untuk segera disusun dengan terang sanggup dilihat pada serpihan menimbang dari Undang-Undang No.13 Tahun 2006, yang antara lain menyebutkan:
Arief Mansur (2007: 31) menyatakan:
„‟Penegak aturan sering mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan kejelasan perihal tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku lantaran tidak sanggup menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu‟‟.
Pada ketika saksi dan/atau korban akan memperlihatkan keterangan, tentunya harus disertai jaminan yang tegas bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada ketika dan sesudah memperlihatkan kesaksian. Hal inilah yang menjadi tujuan dari Undang-Undang No.13 Tahun 2006.
Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 perihal Perlindungan Saksi dan Korban, juga diatur adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau yang sanggup disingkat dengan LPSK yaitu forum yang bertugas dan berwenang untuk memperlihatkan proteksi dan hak-hak lain kepada saksi dan/ atau korban.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
kitab undang-undang hukum pidana memperlihatkan proteksi kepada korban perdagangan insan berupa penggantian kerugian yang diderita korban perdagangan insan oleh pelaku perdagangan insan melalui ketetapan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat atau sebagai pengganti pidana pokok.
Sekalipun kitab undang-undang hukum pidana mencantumkan aspek proteksi korban kejahatan berupa proteksi ganti kerugian, namun ketentuan ini tidak luput dari aneka macam hambatan dalam pelaksanaannya, yaitu ( Barda Nawawi, 1998:17 ):
a. Penetapan ganti rugi tidak sanggup diberikan oleh hakim sebagai hukuman yang bangun sendiri disamping pidana pokok, jadi hanya sebagai “syarat khusus” untuk dilaksanakannya atau dijalaninya pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana.
b. Penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian ini hanya sanggup diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana paling usang satu tahun atau pidana kurungan.
c. Syarat khusus berupa ganti rugi ini pun berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperati.

3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 perihal Hukum Acara Pidana atau KUHAP
Selama ini berkembang pendapat yang menyebutkan dengan diperiksa dan diadilinya pelaku kejahatan, telah melindungi korban kejahatan secara tidak pribadi lantaran pelaku kejahatan tidak akan lagi mengganggu masyarakat/korban, namun pelaku kejahatan tidak cukup hanya bertanggung jawab secara pidana / dieksekusi tetapi juga harus bertanggung jawab secara keperdataan supaya semakin menambah efek jera sekaligus bertanggung jawab secara pribadi kepada korban.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diatur beberapa hak aturan yang sanggup dipakai oleh korban kejahatan dalam suatu proses peradilan pidana (Theo, 2003:31):
a. Hak untuk melaksanakan kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum, terhadap tindakan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan. Hal ini penting untuk diberikan guna menghindari adanya upaya dari pihak-pihak tertentu dengan aneka macam motif (politik, uang, dan sebagainya) yang bermaksud menghentikan proses pemeriksaan, lantaran bagaimanapun juga dalam suatu proses investigasi pidana, sekalipun pelaku / tersangka berhadapan dengan negara yang diwakili oleh jaksa penuntut umum, tetapi korban sebagai pihak pelapor dan/atau yang menderita kerugian tetap berkepentingan atas investigasi tersebut..
b. Hak korban kejahatan yang berkaitan dengan kedudukannya sebagi saksi. Kesaksian dari (saksi) korban sangat penting untuk memperoleh suatu kebenaran materil, oleh lantaran itu, untuk mencegah korban mengundurkan diri sebagai saksi perlu perilaku proaktif dari pegawanegeri penegak aturan untuk memperlihatkan jaminan keamanan bagi korban dan keluarganya pada ketika mengajukan diri sebagai saksi.
c. Hak untuk menuntut ganti kerugian yang diderita jawaban kejahatan. Hak ini dimaksudkan untuk memperlihatkan fasilitas kepada korban suatu tindak pidana dalam mengajukan somasi ganti kerugian, yaitu melalui cara percepatan proses proteksi ganti kerugian kepada pihak korban kejahatan atau keluarganya oleh tersangka melalui penggabungan kasus pidananya dengan somasi ganti kerugian. Perlu kiranya diketahui bahwa usul penggabungan kasus somasi ganti kerugian hanya sanggup diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana, atau jikalau penuntut umum tidak hadir maka usul tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan
d. Hak bagi keluarga korban untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi melaksanakan otopsi. Mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi untuk melaksanakan otopsi juga merupakan suatu bentuk proteksi korban kejahatan, mengingat persoalan otopsi ini bagi beberapa kalangan sangat akrab kaitannya dengan persoalan agama, etika istiadat, serta aspek kesusilaan/ kesopanan lainnya.

4. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 perihal Peradilan Hak Asasi Manusia
Perlindungan korban sebagai jawaban dari terjadinya pelanggaran hak asasi insan yang berat telah diatur dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000 perihal Peradilan Hak Asasi Manusia berupa proteksi fisik dan mental terhadap saksi dan korban dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
Mengenai hal ini, Harkristuti Harkrisnowo(2002), dalam makalahnya menyatakan:
“Dalam masalah pelanggaran HAM yang berat seharusnya hak-hak korban dan saksi lebih diperhatikan, hal ini berkenaan dengan para tersangka yang umumnya berasal dari kelompok yang setidaknya pernah memegang kekuasaan dan mempunyai jalan masuk pada senjata.Perlindungan yang diberikan pada korban atau saksi ini sanggup diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau investigasi di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif dari pegawanegeri penegak aturan dan pegawanegeri keamanan dan atau dari permohonan yang disampaikan oleh korban.
Bentuk proteksi aturan lainnya yakni dalam bentuk proteksi kompensasi restitusi dan rehabilitasi kepada korban. Khusus mengenai proteksi restitusi terhadap korban kejahatan, Soedjono Dirdjosisworo (2000:102) menyatakan:
„‟Mengenai restitusi betapapun akan sukar dilaksanakan lantaran apabila apa yang harus diterima korban dari pelaku atau orang ketiga tidak sanggup dipenuhi lantaran ketidak mampuan yang benar-benar sanggup dibuktikan atau lantaran pelaku tidak rela membayar lantaran ia harus menjalani pidana yang berat‟.

5. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 perihal Perlindungan Anak
Undang-Undang No.23 tahun 2003 perihal Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak semoga sanggup hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta menerima proteksi dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera
Banyaknya masalah kekerasan serta perdagangan anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai salah satu indikator buruknya kualitas proteksi anak. Keberadaan anak yang belum bisa untuk hidup berdikari tentunya sangat membutuhkan orang-orang sebagai kawasan berlindung. Rendahnya kualitas proteksi anak di Indonesia banyak menuai kritik dari aneka macam elemen masyarakat.
Pertanyaan yang sering dilontarkan yakni sejauh mana pemerintah telah berupaya memperlihatkan proteksi aturan kepada anak sehingga anak sanggup memperoleh jaminan atas kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai serpihan dari hak asasi manusia. Padahal berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 perihal Perlindungan Anak, yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan proteksi anak yakni negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.

Sumber http://handarsubhandi.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pengaturan Dan Kebijakan Dalam Menangani Korban Perdagangan Orang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel