Perlindungan Aturan Atas Hak Asasi Kelompok Minoritas Di Indonesia
A. Prinsip Kesetaraan Dan Non Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas
Secara regulasi prinsip kesetaraan dan non diskriminasi ini tertuang dalam beberapa instrumen, baik yang levelnya internasional (apabila dimaksudkan untuk diberlakukan di seluruh bab dan semua bangsa di dunia), regional (yang diperuntukkan bagi suatu daerah tertentu, yakni Afrika, Amerika (Amerika Utara, Amerika Selatan dan Karibia), Asia, dan Oseania (Pasifik Selatan) subregional (seperti Asia Tenggara) dan nasional (terbatas untuk negara yang bersangkutan).
Pada sekup internasional ketentuan kesetaraan hak dan non diskriminasi termuat dalam Piagam PBB Pasal 1 ayat (3), dimana organisasi PBB dan anggotanya mempunyai tujuan:
”....mengadakan kerjasama internasional guna memecahkan persoalanpersoalan internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar seluruh umat insan tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.”
Pasal 55 abjad c –masih dalam Piagam PBB– mengamanahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa memajukan:
”penghormatan hak asasi insan seantero jagad demikian pula pengejawantahannya serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.”
Dalam dokumen klasik Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 2 dan Pasal 6 menegaskan:33
Pasal 2 berbunyi : ”Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat dalam deklarasi ini tanpa pengecualian apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun status lainnya. Selanjutnya tidak diperbolehkan adanya pembedaan atas dasar kedudukan politik, aturan atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau berasal dari wilayah di bawah batasan kedaulatan lainnya”.
Pasal 6 berbunyi :
”Setiap orang sama di depan aturan dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan deklarasi ini dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi”.
Prinsip non diskriminasi juga dijumpai dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 2 ayat (2) berbunyi:
”Negara-negara pihak dalam kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang tercantum dalam kovenan ini akan diberlakukan tanpa adanya pembedaan apapun menyerupai ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kepemilikan, keturunan atau status lain.”
Selain itu ditemukan pula pada International Convenant Civil and Politic Rights (ICCPR) Pasal 2 ayat 1. Dinyatakan:
”Setiap negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak yang diakui dalam kovenan ini bagi semua individu yang berada di dalam daerahnya dan berada di bawah yurisdiksinya, tanpa pembedaan jenis apapun, menyerupai ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asalusul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya.”
Sementara Pasal 26 menyatakan:
”Semua orang berkedudukan sama di depan aturan dan berhak, tanpa diskriminasi apapun atas proteksi aturan yang sama. Dalam hal ini aturan harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, harta benda, status kelahiran atau status lainnya”.
Frasa ”semua individu” dan ”semua orang” pertanda bahwa jangkauan subyek hak Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 26 Kovenan Internasional perihal Hak- Hak Sipil dan Politik luas. Penghormatan dan penjaminan hak yang diakui dalam kovenan (Pasal 2) dan kedudukan sama di depan aturan dan berhak, tanpa diskriminasi apapun atas proteksi aturan yang sama (Pasal 26) berlaku terhadap siapapun individunya tanpa melihat ia berasal dari kelompok minoritas atau bukan.35 Sebagai ilustrasi, manakala kovenan ini menjamin kebebasan untuk beragama bagi semua orang, maka atas nama prinsip kesetaraan, jaminan hak untuk beragama ini dihentikan hanya berlaku bagi kelompok lebih banyak didominasi saja tapi juga bagi mereka yang tergolong minoritas. Begitupun sebaliknya, jaminan hak beragama dihentikan hanya berlaku bagi minoritas tapi mengabaikan mayoritas.
Prinsipnya dihentikan ada pembedaan/diskriminasi perlakuan. Sementara mayoritas sanggup beribadah dengan aman, minoritas justru beribadah dalam tekanan. Padahal citra kondisi ideal di undang-undang, baik lebih banyak didominasi atau minoritas punya posisi yang sederajat untuk memangku hak asasinya.
Hampir dalam seluruh rezim aturan HAM, prinsip non diskriminasi jadi prinsip yang strategis. Dalam tingkatan internasional, selain instrumen yang sudah diungkapkan di muka, prinsip non diskriminasi antara lain didapati juga dalam Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Internasional Tentang Pemberantasan dan Penghukuman Kejahatan Pembedaan Warna Kulit (Apartheid), Deklarasi Tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan. Sedangkan dalam domain regional, prinsip non diskriminasi diantaranya dijumpai dalam Piagam Afrika (Banjul) Tentang Hak Asasi Manusia, Konvensi Amerika Tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi Amerika Tentang Hak dan Tanggung Jawab Manusia, Konvensi Inter-Amerika Mengenai Pemberian Hak- Hak Sipil Kepada Perempuan, Konvensi Eropa Untuk Perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental dan Piagam Sosial Eropa.
Sedangkan dalam konteks aturan nasional negara Indonesia, selain ICCPR yang sudah diratiikasi dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2005, prinsip non diskriminasi juga termuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 perihal Hak Asasi Manusia (Pasal 3 ayat (3)), Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 perihal Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pasal 3 abjad c) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 perihal Perlindungan Anak (Pasal 2 abjad a).
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi Indonesia sebagaimana telah dipaparkan di muka pada Pasal 28 D dan 28 I menegaskan bahwa:
Pasal 28 D yang berbunyi : ”(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian aturan yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 28 I ayat (2) yang menyatakan: “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat proteksi terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang jadi salah satu barometer penghormatan, proteksi dan pemenuhan HAM di Indonesia Pasal 3 ayat (3) dengan bernas juga mengamanatkan setiap orang berhak atas proteksi hak asasi insan dan kebebasan manusia, tanpa diskriminasi.
B. Upaya Perlindungan Hukum
Mengingat posisinya yang sensitif, ICCPR secara khusus mengatur perlindungan bagi orang yang termasuk kelompok minoritas. Kekhususan ini tercantum dalam Pasal 27, yang menyebutkan:
Di negara-negara dimana terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama atau bahasa, orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoritas tersebut tidak sanggup diingkari haknya, dalam komunitas bersama anggota lain dalam kelompoknya, untuk menikmati budaya sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk memakai bahasa mereka sendiri.
Dalam General Comment Nomor 23, sebagaimana dinukil Patra M. Zen, setidaknya sanggup diketahui lingkup minoritas yang eksis dalam sebuah negara (atau yurisdiksi teritorial sanggup berbasiskan atas: 1) etnis; 2) agama atau kepercayaan, dan; 3) minoritas dalam lingkup bahasa. Berlandaskan cakupan tersebut, negara mempunyai kewajiban untuk menjamin bahwa eksistensi dan pelaksanaan hak ini dilindungi dari penyangkalan atau pelanggaran. Oleh karena itu diharapkan adanya langkah-langkah proteksi yang positif tidak hanya dari tindakan negara itu sendiri, baik melalui kewenangan legislatif, yudisial maupun administratif, tetapi juga dari tindakan orang-orang lain di dalam wilayah negara yang bersangkutan.
Penjabaran lebih khusus dan spesifik lagi mengenai penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM serta larangan diskriminasi terhadap kelompok minoritas dibeberkan dalam sebuah dokumen tersendiri yakni, Deklarasi Mengenai Hak-Hak Penduduk yang Termasuk Kelompok Minoritas berdasarkan Kewarganegaraan, Etnis, Agama dan Bahasa yang disahkan dalam Resolusi PBB nomor 47/135 pada 18 Desember 1992. Majelis Umum PBB dalam pertimbangannya mengungkapkan, deklarasi ini dicetuskan lantaran pemajuan dan perlindungan hak orang-orang yang termasuk dalam bangsa atau suku bangsa, agama dan bahasa minoritas akan memberi sumbangan pada stabilitas politik dan sosial dimana mereka tinggal.
Dalam deklarasi ini, kelompok minoritas selaku subyek pemangku hak diberikan:
1. Hak untuk menikmati kebudayaan mereka, hak untuk memeluk dan menjalankan agama mereka sendiri dan hak untuk memakai bahasa mereka sendiri (Pasal 2 ayat (1)).
2. Hak untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan budaya, agama, sosial, ekonomi dan publik secara efektif (Pasal 2 ayat (2)).
3. Hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam keputusan-keputusan pada tingkat nasional dan regional (Pasal 2 ayat (3)).
4. Hak untuk mendirikan atau mempertahankan perkumpulan mereka sendiri (Pasal 2 ayat (4)).
5. Hak untuk mendirikan dan memelihara kekerabatan bebas dan tenang dengan anggota lain dari kelompok mereka, dengan orang yang termasuk kaum minoritas lainnya, dengan penduduk dari negara lain (Pasal 2 ayat (5)).
6. Kebebasan untuk melakukan hak mereka secara perorangan maupun dalam komunikasi dengan anggota-anggota lain dari kelompok mereka tanpa diskriminasi (Pasal (3)).
Sedangkan negara sebagai subyek pemangku kewajiban diberi kewajiban untuk mengambil langkah-langkah:
1. Melindungi eksistensi dan identitas kebangsaan, suku bangsa, budaya, agama, dan bahasa kaum minoritass dalam daerahnya dan akan mendorong kondisikondisi yang memajukan identitas tersebut (Pasal 1 ayat (1)).
2. Mengambil tindakan legislatif dan tindakan lain yang sempurna untuk mencapainya (Pasal 1 ayat (2)).
3. Untuk menjamin orang-orang yang termasuk kaum minoritas dapat melaksanakan hak asasi dan kebebasan-kebebasan mendasar mereka dengan sepenuhnya dan efektif tanpa diskriminasi, dan dengan kesamaan seutuhnya di hadapan aturan (Pasal 4 ayat (1)).
4. Upaya-upaya untuk membuat kondisi-kondisi yang menguntungkan agar orang-orang yang termasuk kaum minoritas sanggup mengekspresikan ciri khas mereka dan berbagi budaya, bangsa, agama, tradisi, dan kebiasaan mereka (Pasal 4 ayat (2)).
5. Agar kaum minoritas punya kesempatan yang cukup untuk mempelajari bahasa ibu mereka atau memakai bahasa ibu mereka (Pasal 4 ayat (3)).
6. Upaya-upaya di bidang pendidikan (Pasal 4 ayat (4)).
7. Mempertimbangkan langkah yang sempurna sehingga orang-orang yang termasuk
kaum minoritas sanggup berpartisipasi secara penuh dalam perkembangan dan pembangunan ekonomi di negara mereka (Pasal 4 ayat (5)).
8. Untuk mempertimbangkan kepentingan-kepentingan sah dari kaum minoritas dalam berbagi kebijakan dan jadwal nasional serta dalam perencanaan dan penerapan jadwal kolaborasi dan proteksi (Pasal 5).
9. Untuk bekerja sama dengan negara-negara lain berkenaan dengan kaum minoritas, termasuk pertukaran info dan pengalaman-pengalaman, dalam rangka memajukan pemahaman dan kepercayaan satu sama lain (Pasal 6).
10. Untuk memajukan penghormatan terhadap hak yang terdapat dalam deklarasi (Pasal 7).
11. Untuk memenuhi kewajiban dan ikrar dari negara-negara sebagaimana dicantumkan dalam perjanjian dan kesepakatan internasional dimana mereka menjadi negara pihak (Pasal 8).
Deklarasi mengenai hak-hak penduduk yang termasuk kelompok minoritas berdasarkan kewarganegaraan, etnis, agama dan bahasa merupakan instrumen yang kian menegaskan eksistensi Pasal 27 ICCPR. Sekalipun sifatnya deklaratif yang oleh akhirnya tak mempunyai kekuatan mengikat secara aturan (soft law) tapi ia punya imbas politis bagi negara untuk memberi penghormatan, pemenuhan dan proteksi HAM kelompok minoritas. Perlindungan atas hakhak minoritas ini ditujukan pada upaya untuk menjamin keberlangsungan hidup dan keberlanjutan pengembangan identitas budaya, agama dan sosial kelompok minoritas yang bersangkutan.
Sementara terhadap proteksi terhadap hak asasi kelompok minoritas, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 perihal HAM memang tidak terang menyinggungnya. Hanya disebutkan pada Pasal 5 ayat (3):
Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan proteksi lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pada klarifikasi pasal tersebut, yang dimaksud dengan kelompok masyarakat rentan antara lain ialah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, perempuan hamil dan penyandang cacat. Kendati kelompok minoritas tidak tercatat, namun dalam perkembangan wacana aturan hak asasi insan kelompok minoritas diakui sebagai kelompok utama subyek aturan hak asasi manusia, bersama indigienous people dan refugees. Berbagai perjanjian internasional hak asasi manusia, serta keputusan-keputusan penting pengadilan, juga adanya prosedur khusus dalam PBB baik yang berupa komite, special rapporteur, working groups maupun independent experts menguatkan keberadaan kelompok minoritas sebagai subyek dalam aturan HAM.
Di samping itu menyerupai sudah dipaparkan, Indonesia sudah meratifikasi ICCPR dimana Pasal 27 kovenan tersebut melindungi orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoritas tidak sanggup diingkari haknya. Dengan demikian, ketentuan Pasal 27 kovenan itu berlaku juga di Indonesia, oleh alasannya ialah ratifikasi dimaknai dengan penerimaan aturan internasional menjadi aturan positif. Hal ini sejalan dengan suara Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, ketentuan aturan internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi insan menjadi aturan nasional.
Sama dengan konteks aturan HAM internasional, pada tingkat nasional prinsip setara dan non diskriminasi harus berlaku bagi semua orang, lepas dia dari kelompok minoritas atau bukan. Namun, lantaran kondisi individu-individu dari kelompok minoritas di Indonesia rentan mengalami ketidakadilan dan diskriminasi, maka negara wajib melindungi orang-orang yang tergabung dalam kelompok ini. Semata-mata lantaran kekhususan posisi mereka yang lemah dan inferior. Perlindungan ini juga dalam kerangka pelaksanaan prinsip kesetaraan dan non diskriminasi yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang 39 Tahun 1999 dan ICCPR.
Alhasil dalam perspektif aturan HAM, kelompok minoritas berada pada tingkat setara dengan individu-invidu pemangku hak yang lain. Setara adalah prinsip utama HAM. Dalam kesetaraan, perlakuan diskriminatif tidak diberi tempat. Tidak ada izin bagi siapa pun untuk bertindak diskriminatif terhadap siapa pun, entah beliau berasal dari kelompok minoritas atau bukan, termasuk oleh negara sebagai subyek aturan pemangku kewajiban HAM. Semua orang punya akses yang sama dalam kehidupan politik, untuk memeluk agama, untuk memilih kepercayaan yang diyakini, untuk menjalankan ritual agamanya dengan tenang, untuk berbahasa, berbudaya, untuk tidak disiksa, untuk memperoleh jaminan atas rasa kondusif dan untuk saluran hak asasi insan keseluruhan. Namun karena senyatanya kelompok minoritas ialah warga kelas bawah, maka diharapkan hak khusus untuk mengangkat martabat mereka.
Seperti sudah dipaparkan di muka, hak khusus bukanlah hak istimewa, tapi hak ini diberikan biar kaum minoritas bisa menjaga identitas, ciri-ciri dan tradisi khasnya. Hak khusus menyerupai ini penting untuk mencapai perlakuan yang sama. Hanya dikala kaum minoritas berdaya untuk beribadah berdasarkan agama yang diyakini, memakai bahasa-bahasa mereka, mendapat keuntungan dari pelayanan-pelayanan yang mereka organisasikan sendiri, serta berpartisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi negara, barulah mereka mencapai status yang selama ini dimiliki oleh kelompok mayoritas.
0 Response to "Perlindungan Aturan Atas Hak Asasi Kelompok Minoritas Di Indonesia"
Posting Komentar