-->

iklan banner

Pengertian Dan Jenis-Jenis Kealpaan Atau Culpa

1. Pengertian Kealpaan (culpa)
Di dalam Undang-Undang untuk menyatakan “kealpaan” digunakan majemuk istilah yaitu: schuld, onachtzaamhid, emstige raden heef om te vermoeden, redelijkerwijs moetvermoeden, moest verwachten, dan di dalam ilmu pengetahuan digunakan istilah culpa.
Istlah ihwal kealpaan ini disebut “schuld” atau “culpa” yang dalam bahasa Indenesia diterjemahkan dengan “kesalahan”. Tetapi maksudnya ialah dalam arti sempit sebagai suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak sederajat menyerupai kesengajaan, yaitu: kurang berhati-hati sehinga akhir yang tidak disengaja terjadi
Penjelasan ihwal apa yang dimaksud “culpa” ada dalam Memory van Toelichthing (MvT) sewaktu Menteri Kehakiman Belanda mengajukan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana, dimana dalam pengajuan Rancngan itu terdapat klarifikasi mengenai apa yang dimaksud denga “kelalaian” adalah:
a. Kekurangan pedoman yang diperlukan
b. Kekurangan pengetahuan/pengertian yang diperlukan
c. Kekurangan dalam kecerdikan yang disadari
Culpa itu oleh ilmu pengetahuan dan yurisprudensi memang telah ditafsirkan sebagai “een tekortaan voorzienigheid” atau “een manco aan voorzichtigheid” yang berarti “suatu kekurangan untuk melihat jauh kedepan ihwal kemungkinan timbulnya akibat-akibat” atau “suatu kekurangan akan perilaku berhati-hati”
Untuk menyebutkan pengertian yang sama dengan “kekurang hati-hatian”, “kurangnya perhatian” menyerupai yang dimaksud di atas, para guru besar memakai istilah yang berbeda-beda. Pompe misalnya, talah memakai istilah “onachtzaamheid”, sedangkan Simaons telah memakai istilah-istilah “gemis aan voorzichtigheid” dan “gemis aan voorzienbaarheid”. Van Bemmlen telah memakai istilah “roekeloos”
Sactohid Kartanegara (Sri Widyastuti 2005: 40) merumuskan delik culpa seiring dengan Culpose Delicten yaitu:
Tindak-tindak pidana yang berunsur culpa atau kurang hati-hati. Akan tetapi hukumannya tidak seberat menyerupai sanksi terhadap Doleuse delicten, yaitu tindak pidana yang berunsur kesengajaan. Culpose delicten ialah delik yang memiliki unsure culpa atau kesalahan (Schuld).
Contoh: -Pasal 359 KUHPidana
Barangsiapa sebab salahnya menimbulkan matinya orang dieksekusi penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun
-Pasal 188 KUHPidana
Barangsiapa menimbulkan sebab kesalahannya kebakaran peletusan atau banjir, dieksekusi dengan sanksi penjara selama-lamanya lima tahun atau sanksi kurungan selama-lamanya satu tahun atau sanksi denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-, jikalau terjadi ancaman kepada mau orang lain, atau jikalau hal itu berakibat matinya seseorang.
Lamintang (1997: 204) mengemukakan ihwal delik culpa ialah “Culpose delicten atau delik yang oleh pembentuk Undang-Undang telah disyaratkan bahwa delik tersebut terjadi dengan sengaja biar pelakunya sanggup dihukum”.
Demikianlah apa yang dimaksud dengan isi kealpaan itu, berdasarkan ilmu pengetahuan terhadap delik-delik culpa yany bangkit sendiri. Delik culpa yang bangkit sendiri, menyerupai Pasal-Pasal 188. 231 ayat (4), 232 ayat (3), 334, 359, 360, 409, 426 ayat (2), 427 ayat (2), 477 ayat (2) KUHPidana (vide di atas) juga sering disebut sebagai delict culpoos yang sesungguhnya, yaitu delik-delik yang dirumuskan dengan perbuatan kealpaan yang mengakibatkan suatu akhir tertentu.
Lain halnya dalam menghadapi delict culpoos yang tidak bekerjsama (delict pro parte dolus pro parte culpa), menyerupai Pasal-pasal 283, 287, 288, 290, 292, 293, 418, 480, 483, dan 484 KUHPidana. Di situ digunakan unsure “dikethui” atau “sepatutnya harus diduga” sehingga apabila salah satu dari belahan unsure tersebut sudah terpenuhi, cukup untuk menjatuhkan pidana delict-dolus yang salah satu unsurnya diculpakan. Persoalan yang terjadi didalam delik culpa yang tidak sesungguhnya, menyebut dengan istilah elemen culpa, yang ditempatkan sehabis opzet dengan ancaman pidana yang tidak berbeda.
Kalau dasar adanya kealpaan ialah merupakan kelakuan terdakwa yang tidak menginsyafi dengan kurang memperhatikan terhadap objek yang dilindungi oleh hukum, maka dasar aturan untuk menawarkan pidana terhadap delik culpa, berarti kepentingan penghidupan masyarakat, yang mengharapkan setiap anggota memasyarakatkan dalam melaksanakan perbuatan, beusaha sedemikian rupa untuk memperhatikan kepentingan aturan sesama anggota masyarakat, sehingga tidak berbuat lagi jikalau tidak maka harus berjanggungjawab dengan menerima pidana.
Kealpaan yang merupakan perbuatan tidak dengan sengaja (tidak diinsyafi) akan tetapi sebab kurang perhatian terhadap objek yang dilindungi hukum, atau tidak melaksanakan kewajiban yang diharuska oleh hukum, atau tidak mengindahkan larangan peratran hukum, sebagai suatu jenis kesalahan berdasarkan aturan pidana. Dengan demikian delik culpa intinya merupakan delik yang bagi pembuatnya memiliki pertanggungjawaban yang bangkit sendiri.
Dibandingkan dengan bentuk kesengajaan, sanggup dikatakan bahwa bentuk kealpaan itu merupakan jenis kesalahan yang memiliki dasar yang sama dengan bentuk kesengajaan yaitu harus terjadi perbuatan pidana (perbuatan yang dihentikan dan diancam dengan pidana), dan harus adanya kemampuan bertanggungjawab dengan tanpa adanya alasan penghapus kesalahan berupa pemaaf.

2. Jenis-Jenis Culpa
Culpa dibedakan menjadikan culpa levissima dan culpa lata. Culpa levissima atau lichtste schuld, artinya ialah kealpaan yang rinagn, sedangkan culpa late atau merkelijke schuld, grove schuld artinya ialah kealpaan berat. Tentang adanya culpa levissima para hebat menyatakan dijumpai di dalam jenis kejahatan, oleh sebab sifatnya yang ringan, akan tetapi sanggup di dalam hal pelanggaran dari buku III KUHPidana, sebaliknya ada pandangan bahwa culapa levissima oleh Undang-Undang tidak diperhatikan sehingga tidak diancam pidana. Sedangkan bagi culpa lata dipandang tersimpul didalam kejahatan sebab kealpaan.

Teranglah bahwa kealpaan untuk pengertian sehari-hari tidak sama dengan kealpaan berdasarkan aturan pidana, yang harus mempuanya arti lebih khusus yang relevan dengan aturan pidana. KUHPidana tidak menawarkan arti dari pada kealpaan. Sebagaimana lazimnya, kemudian para hebat menawarkan iman ihwal kealpaan. Anrata lain oleh Vos (Bambang Poerrnomo 1992: 174) dinyatakan bahwa culpa memiliki dua elemen yaitu:
a. Tidak mengadakan penduga-duga terhadap akhir bagi si pembuat (voorzien-baarheid);
b. Tidak mengadakan penghati-hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat (onvoorzictigheid).
Mengenai isi kealpaan yang pertama bahwa mengadakan penduga-duga terhadap akibat, berarti disini harus diletakkan adanya kekerabatan antara batin terdakwa dengan akhir yang timbul, bahkan perlu dicari kekerabatan kasual antara perbuatan terdakwa dengan akhir yang dilarang.
Mengenai kurang/tidak mengadakan penghati-hati apa yang diperbuat itu, oleh Vos (Bambang Poenormo 1992: 175), diadakan perincian adanya dua hal yang diharapkan yaitu:
a. Pembuat tidak berbuat secara hati-hati berdasarkan yang semestinya (tukang cat membersihkan pakaian kerja dengan bensin erat dapur);
b. Pembuat telah berbuar dengan hati-hati, akan tetapi perbuatanya pada pokoknya tidak boleh dilakukan (seseorang menciptakan mercon dengan sangat hati-hati, namun toh terjadi juga kebakaran).
Tidak mengadakan penghati-hati ini, yang menjadi sentra perhatianya ialah evaluasi ihwal apa yang dilakukan oleh pembuat, bahwa apa yang diperbuat dicocokkan dengan penginsyafan batin terdakwa terhadap aturan-aturan hukum. Tugas untuk memilih syarat yang kedua dari culpa ini lebih ringan dibandingkan dengan pekerjaan untuk memilih syarat pertama. Di dalam praktek syarat tidak mengadaka penghati-hati dalam pengertian sub.a atau sub.b tersebut di atas itulah gampang dilihat sebagai kekerabatan yang erat atau yang paling erat dengan culpa, oleh sebab itu bagi jaksa sudah selayaknya harus menuduhkan dan menunjukan ihwal tindak mengadakan penghati-hati dari terdakwa.
Makara ada dua jalan yang sanggup diikuti di dalam praktek, yang pertama-tama lebih memperhatikan syarat tidak mengadakan penghati-hati dalam pengertian pembuat tidak berbuat secara hati-hati berdasarkan yang semestinya, atau pembuat telah berbuat dengan hati-hati akan tetapi, perbuatannya itu bekerjsama tidak boleh dilakukan, sebab hal itu lebih gampang dilihat sebagaimana kekerabatan yang erat/paling erat dengan culpa, sehingga lebih gampang menuduhkan dan membuktikan. Atau yang kedua, ialah syarat tidak mengadakan penghati-hati lebih penting guna memilih adanya culpa, sebab barang siapa melaksanakan perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang seperlunya maka ia juga tidak mengadakanpenduga-duga akan terjadinya akhir yang tertentu dari kelakuannya. Perbedaan antara dua jalan itu dalam praktek untuk yang pertama bagi terdakwa masih sanggup menciptakan tangkisannya bahwa mustahil untuk mengadaka penduga-duga, sedangkan yang kedua, kalau sudah terbukti berarti implicit tidak mengadakan penduga-duga di dalam hal sebab tidak mengadakan penghati-hati. Jalan yang pertama masih mengenal hak asasi terdakwa.
Timbul pertanyaan hingga dimana adanya kurang berhati-hati sehingga si pelaku harus dihukum. Hal kesengajaan tidak mengakibatkan pertanyaan ini sebab kesengajaan ialah berupa suatu keadaan batin yang tegas dari seorang pelaku. Lain halnya dengan kurang berhati-hati yang sifatnya bertingkat-tingkat. Ada orang yang dalam melaksanakan sesuatu pekerjaan sangat berhati-hati, ada juga yang tidak berhati-hati, ada juag kurang berhati-hati, sehingga menjadi serampangang atau ugal-ugalan.
Menurut Memorie van Toelichting atau risalah klarifikasi Undang-Undang, culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan, Rusli Effendy (1989: 85) Jurisprudensi menginterprestasikan culpa sebagai”kurang mengambil tindakan pencegahan atau kurang hati”.

Sumber http://handarsubhandi.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pengertian Dan Jenis-Jenis Kealpaan Atau Culpa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel