-->

iklan banner

Hak Lintas Damai

   Dalam sejarah maritim dikenal sebagai sarana vital bagi perdagangan internasional lantaran perdagangan atau ekspor-impor barang antarnegara tersebut diangkut oleh kapal melalui pelayaran di laut, dan hingga kini pelayaran yang mengangkut barang-barang ekspor-impor itu mendominasi kurang lebih 90 persen. Pelayaran internasional itu dikuasai oleh Negara-negara maju yang mempunyai armada kapal yang besar dan kuat, sehingga negara-negara berkembang meskipun mempunyai maritim belum mendapat laba yang optimal dari pelayaran internasional tersebut. Pelayaran internasional berada dalam wadah organisasi dunia, yang disebut International Maritime Organization atau IMO yang bermarkas di London. IMO telah banyak mengeluarkan banyak sekali aturan pelayaran internasional yang mengikat setiap Negara termasuk Indonesia dan Indonesia juga telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional di buat IMO tersebut.

     Hak lintas hening (Right of innocent passage) telah ada sejak Zaman Gentilis hingga sekarang. Konferensi Institut de Droit internastional yang diadakan di Amsterdam 1957 menyatakan :
”Kapal abnormal mempunyai hak lintas hening di maritim wilayah suatu negara, termasuk hak untuk berhenti dan melemparkan sauh, jikalau terjadi bencana pelayaran atau terpaksa oleh keadaan Force majeure atau dalam keadaan bahaya”.

     Secara historis konsep lintas hening ini tidak lepas dari imbas dua teori dalam humum maritim internasional : Teori pertama, bahwa Semua umat insan sanggup mempunyai maritim sehingga maritim terbuka bagi insan dalam pelayaran maupun penggunaan lainnya, dikenal dengan res communis. Teori kedua, Laut sanggup dimiliki dengan menguasai dengan mendudukinya dan siapapun sanggup mengambil pecahan atas lautan tersebut menjadi miliknya yang kemudian ia sanggup membatasi penggunaannya, yang kemudian dikenal dengan res nullius.

     Perbedaan antara kedua teori tersebut sangat tajam dalam perkembangan aturan laut. Perdebatan utamanya yakni pengesahan atas pentingnya pelayaran maritim sebagai penghubungan antar negara dalam perdagangan, perhubungan dan komunikasi. Kemudian sebagai kompromi atas kedua teori tersebut muncullah prinsip innocent passage (lintas damai). Prinsip lintas hening ini kemudian dikodifikasikan dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Prinsip lintas hening ini penting sekali untuk pelayaran dan kini ini, tidak seorangpun yang menolaknya.

     Kompromi yang dimaksud yakni merupakan penyelesaian dari perdebatan dua kepercayaan wacana konsep mare liberium (dikemukakan oleh Grotius) sebagai bentuk penolakan terhadap konsep mare clausum. Doktrin Grotius, mare liberium, telah menjadikan reaksi mahir dari penulis inggris Jhon Selden, yang memandang pecahan maritim tertentu sanggup dimiliki oleh nehgara-negara pantai, dimana menurutnya penguasaan (occupation) yakni unsur yang sangat penting dalam kepemilikan (posession) sekalipun sejarah telah menandakan bahwa negara-negara telah menjalankan kekuasaan mereka atas lautan. Atas dasar itu, melalui prescription maritim itu bukanlah mare liberium tapi yakni mare clausum.

     Dalam teorinya sifat maritim yang cair, berdasarkan Selden tidaklah mengakibatkan tidak sanggup dimiliki, lantaran sungai dan perairan disepanjang pantai dan cair sanggup diakui dan sanggup dimiliki. Sejarah kemudian menandakan bahwa baik mare clausum dan mare liberium tidak sanggup mempertahankan fatwa masing-masing dengan kaku dan konsekuen, balasannya tercapai kompromi dimana Grotius sendiri mengakui bahwa maritim sepanjang pantai suatu negara sanggup dimiliki sejauh yang sanggup dikuasai dari darat. Benih-benih kompromi tersebut juga terdapat pada fatwa Selden yang mengakui hak negara lain untuk mempunyai lautan masing-masing, dan mengakui adanya hak lintas hening di laut-laut yang dituntut. Kebebasan maritim juga diterima oleh Inggris, lantaran armada maritim Inggris sudah mulai tumbuh dan mengarungi seluruh samudera di dunia.

     Dalam kepustakaan Hukum Internasional, hak lintas hening telah melembaga dalam Konvensi Hukum lnterasional, yaitu Konvensi Den Haag 1930, Namun pengaturan lebih lengkap dirumuskan dalam Konvensi Hukum Laut 1958 dalam perkembangan selanjutnya dimuat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982) yang banyak mengalami perkembangan dalam pengaturan lintas hening ini. Pada umumnya ketentuan-ketentuan mengenai maritim teritorial dalam Konvensi Hukum Laut 1982 banyak mengutip dari Konvensi terdahulu, yaitu Konvensi Jenewa 1958. Terdapat beberapa perkembangan dalam pengaturan lintas hening di maritim teritorial dan juga terdapat pengaturan baun mengenai lintas hening di Selat yang dipakai untuk pelayaran lntemasional dan juga di perairan Kepulauan atau lintas alur Kepulauan.

     Dalam Konvensi Hukum Laut 1958 secara aturan wilayah perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan negara pantai yakni maritim teritorial dan perairan pedalaman. Di sisi pecahan dalam dari garis pangkal maritim teritorial yakni perairan pedalaman dan di sisi luar yakni maritim teritorial. Pada perairan pedalaman umumnya tidak ada lintas hening bagi kapal asing, kecuali apabila perairan pedalaman itu sebelumnya berstatus sebagai maritim lepas atau maritim teritorial, disebabkan lantaran pengguna sistem straight base lines dan memakai garis-garis dasar dari maritim teritorial, sehingga maritim tersebut bermetamorfosis perairan pedalaman dalam arti maritim pedalaman, sedangkan pada maritim teritorial ketentuan lintas hening itu dijamin oleh aturan intemasional.

     Menurut ketentuan aturan internasional, pada umumnya maritim wilayah merupakan wilayah lintas hening bagi kendaraan asing, sehingga tidak dihentikan monopoli bagi negara pantai dalam memanfaatkan maritim sebagai sarana transportasi. Konvensi Hukum Laut 1982 memuat banyak ketentuan mengenai hak lintas damai. Seksi 3 Konvensi tersebut berisikan tidak kurang dari 10 pasal yang menjelaskan pengertian hak lintas damai, hak dan kewajiban Negara pantai serta pengaturan lintas hening kapal-kapal. Salah satunya pada pasal 52 Konvensi Hukum Laut 1982 yang menyatakan bahwa :
1. Dengan tunduk pada ketentuan pasal 53 dan tanpa mengurangi arti ketentuan pasal 50, kapal semua Negara menikmati hak lintas hening melalui perairan kepulauan sesuai dengan ketentuan Bab II, pecahan 3.
2. Negara kepulauan dapat, tanpa mengadakan diskriminasi formal maupun diskriminasi konkret terhadap kapal asing, menangguhkan untuk sementara waktu lintas hening kapal abnormal di pecahan tertentu perairan kepulauannya, apabila penangguhan demikian sengat perlu untuk melindungi keamanannya. Penangguhan demikian akan berlaku hanya sehabis diumukan sebagaimana semestinya.

     Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang No.6 Tahun 1996 wacana Perairan Indonesia, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 wacana Hak Dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia. Menurut Pasal 1, 2 dan 3 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 bahwa pengertian hak lintas hening bagi kapal-kapal abnormal melalui alur maritim teritorial dan perairan kepulauan Indonesia itu merujuk pada pengertian lintas dan lintas hening dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1996 wacana Perairan Indonesia.

     Untuk mengatur lebih lanjut mengenai lintas hening tersebut, sesuai dengan Pasal 12 ayat 3 Undang-Undang No.6 Tahun 1996, Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 memuat ketentuan mengenai kegiatan-kegiatan dari kapal abnormal yang melaksanakan lintas hening melalui maritim teritorial dan perairan kepulauan yang dianggap tidak damai, yaitu :
1. Melakukan perbuatan yang merupakan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, kemerdekaan politik negara pantai, atau dengan cara apapun yang merupakan pelanggaran prinsip-prinsip aturan internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Melakukan latihan atau praktik dengan senjata macam apapun.
3. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan info yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai.
4. Meluncurkan, mendaratkan atau menaikkan suatu pesawat udara abnormal dari atau ke atas kapal.
5. Meluncurkan, mendaratkan atau menaikkan suatu peralatan dan perlengkapan militer dari atau ke atas kapal.
6. Hilir pulang kampung di maritim teritorial dan perairan kepulauan Indonesia atau acara lainnya yang tidak berafiliasi pribadi dengan lintas.

     Kegiatan-kegiatan lain daripada kapal abnormal yang melaksanakan lintas hening melalui maritim teritorial dan peraitan kepulauan Indonesia yang dianggap tidak hening berdasarkan pasal 5 ayat 1 yaitu :
1. Membongkar atau memuat suatu komoditi, mata uang atau orang, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di b idang bea cukai, fiskal, imigrasi dan saniter.
2. Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal.
3. Kegiatan riset atau survey secara ilegal.
4. Perbuatan yang bertujuan untuk mengganggu sistem informasi, setiap akomodasi atau instalasi komunikasi lainnya, perbuatan pencemaran yang dilakukan dengan sengaja dan menjadikan pencemaran yang parah.

     Dan di ayat 2 menyebutkan jenis-jenis acara lain daripada kapal abnormal yang dianggap tidak hening yaitu :
1. Merusak atau mengganggu alat dan akomodasi navigasi, serta akomodasi atau instalasi navigasi lainnya.
2. Melakukan perusakan terhadap sumber daya alam hayati laut.
3. Merusak atau mengganggu kabel dan pipa bawah laut.

     Di lihat dari uraian di atas, Nampak bahwa kegiatan-kegiatan kapal abnormal di perairan nasional Indonesia yang dianggap tidak hening mengacu pada ketentuan Pasal 19 ayat 2, dan Pasal 21 Konvensi Hukum Laut 1982. Pencantuman ketentuan pasal 21 ini dimaksudkan semoga Pemerintah Indonesia sanggup mengambil segala tindakan yang diharapkan untuk mencegah terjadinya segala gangguan terhadap keamanan, ketertiban umum dan kepentingannya di dalam maritim teritorial dan perairan kepulauan Indonesia.

Sumber http://handarsubhandi.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Hak Lintas Damai"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel