Bentuk-Bentuk Seks Bebas Dan Pengaturannya
1. Seks Bebas atas dasar suka sama suka.
Seks bebas atas dasar suka sama suka atau sec bebas yang dilakukan oleh orang yang tidak terikat perkawinan biasa juga disebut Fornication dalam aturan islam tergolong dalam perbuatan zina.
kitab undang-undang hukum pidana bersumber dari aturan barat, maka perzinaan berdasarkan aturan barat, menyerupai yang dirumuskan dalam Pasal 284 KUHP, yaitu kekerabatan secual yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang perempuan yang salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan dengan orang lain (Andi Hamzah, 1992 : 114).
Menurut Wirjono Projodikoro (1981 : 132), “berzina yaitu bersetubuh dengan orang lain daripada suami atau istrinya.
Sue Titus Reid beropini bahwa, fornication yaitu kekerabatan secual yang tidak sah di antara dua orang yang masing-masing tidak terikat perkawinan. Dalam beberapa pendapat, berdasarkan Reid, fornication juga diterapkan terhadap seorang yang tidak terikat perkawinan yang melaksanakan kekerabatan secual dengan seorang yang terikat perkawinan dengan orang lain. (Neng Djubaedah, 2010 : 183)
Larangan fornication tidak diatur secara tegas dalam KUHP, kecuali fornication dengan anak yang belum berumur 15 (lima belas) tahun atau anak yang belum waktunya untuk dinikahi, diancam eksekusi pejara paling usang 9 (sembilan) tahun, sebagaimana ditentukan Pasal 287 ayat (1) KUHP. Jenis deliknya pun merupakan delik aduan, bukan delik umum, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 287 ayat (2) KUHP. (Andi Hamzah, 1992 : 115).
Pasal 287 ayat (1) memilih bahwa, “Barangsiapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling usang 9 (sembilan) tahun.”
Pasal 287 ayat (2) memilih bahwa “Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali kalau umur perempuan belum hingga 12 tahun atau kalau salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan 294.”
Hal ini berarti, perbuatan zina tersebut hanya sanggup diadukan oleh perempuan yang bersangkutan, demikian pula pendapat R.Soesilo bahwa Delik Aduan sanggup menjelma delik umum kalau terjadi pengecualian-pengecualian sebagai berikut, yaitu kalau persetubuhan diluar nikah (perzinaan) tersebut:
1. Dilakukan dengan perempuan yang belum berumur 12 (dua belas) tahun, atau
2. Mengakibatkan luka berat
3. Mengakibatkan kematian
4. Terjadi incest, yaitu perbuatan cabul (termasuk perzinaan) dengan:
a. anak kandung
b. anak tirinya
c. anak angkatnya, atau
d. anak yang berada dalam pengawasannya yang usianya belum dewasa, atau
e. orang belum cerdik balig cukup akal yang pemeliharaan, pendidikan, dan penjagaan terhadap anak tersebut diserahkan kepadanya (pelaku kejahatan secual), atau
f. pekerja dalam rumah tangganya yang belum dewasa, atau g. orang yang menjadi bawahannya dalam pekerjaan yang belum dewasa.
R. Soesilo pun merumuskan unsur-unsur delik yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal 287 KUHP. (Neng Djubaedah, 2010 : 185)
1. Perempuan itu harus bukan istrinya. Jika istrinya sendiri, mungkin sanggup dikenakan Pasal 288, akan tetapi persetubuhan itu harus berakibat luka pada badan perempuan tersebut.
2. “persetubuhan” itu harus betul-betul dilakukan. Jika belum betul-betul dilakukan, maka perbuatan itu sanggup dikenakan Pasal 290 ayat (2), yaitu hanya termasuk perbuatan cabul.
3. Pelaku pelanggaran harus mmengetahui atau patut sanggup menyangka, bahwa perempuan bersangkutan belum berumur 15 (lima belas) tahun, atau jjika umur ini belum nyata, bahwa perempuan itu belum masanya untuk dikawini.
4. Peristiwa tersebut merupakan delik aduan, kecuali kalau usia perempuan tersebut belum mencapai 12 (dua belas) tahun, atau insiden tersebut berakibat luka berat atau mati.
2. Homosecualitas
Homosecual (Neng Djubaedah, 2010 : 90) yaitu kekerabatan secual antara orang-orang yang berjenis kelamin sama yaitu pria dengan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan, atas dasar kesukarelaan mereka. Jika kekerabatan secual sejenis kelamin itu dilakukan oleh sesama laki-laki, dalam aturan pidana islam disebut liwath, sedangkan kalau kekerabatan secual sejenis kelamin itu dilakukan oleh sesama perempuan disebut musahaqah. Menurut Hukum Islam homosecual itu dilarang.
Ketentuan kekerabatan sesama jenis kelamin di Indonesia masih tetap diperbolehkan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 494 RUU-KUHP 2008 yang mengadopsi ketentuan Pasal 292 KUHP, kecuali terhadap orang-orang yang secara tegas tidak boleh dilakukan.
Pasal 292
“Orang cerdik balig cukup akal yang melaksanakan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling usang lima tahun.”
Pasal 494
“Setiap orang yang melaksanakan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahuinya atau patut diduga belum berumur 18 tahun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling usang 7 tahun.”
Pada Pasal 292 kitab undang-undang hukum pidana dan Pasal 494 RUU-KUHP 2008 ditemukan adanya perbedaan pada segi eksekusi dan batasan umur orang yang sanggup dijadikan pasangan homosecual.
1. Segi hukuman. Pasal 292 kitab undang-undang hukum pidana memilih eksekusi penjara paling usang lima tahun, sedangkan Pasal 494 RUU-KUHP 2008 memilih eksekusi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling usang tujuh tahun.
2. Segi usia. Pasal 292 kitab undang-undang hukum pidana memilih batasan umur orang yang sanggup dijadikan pasangan homosecual yaitu “yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa”, dalam Pasal 494 RUU-KUHP 2008 disebutkan secara tegas bahwa pasangan yang sanggup dijadikan pasangan homosecual yaitu orang yang berumur 18 (delapan belas) tahun.
3. Komersialisasi Seks (Pelacuran)
Pelacuran secara umum yaitu praktik kekerabatan secual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa uang. Menurut Tuong (Bagong Suyanto, 2010: 159), Tiga unsur utama dalam praktik pelacuran yaitu : Pembayaran, Promiskuitas dan Ketidakacuhan emosional. Secara lebih terperinci Purnomo dan Siregar (Bagong Suyanto, 2010:159) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan prostitusi, pelacuran, atau persundalan yaitu insiden penyerahan badan oleh perempuan kepada lelaki dengan imbalan pembayaran guna disetubuhi dan sebagai pemuas nafsu sec si pembayar, yang dilakukan diluar pernikahan. Sementara itu, W.A. Bonger (Bagong Suyanto, 2010:159) menyatakan prostitusi yaitu tanda-tanda kemasyarakatan dimana perempuan menjual diri melaksanakan perbuatan secual sebagai mata pencaharian.
Noelen Heyzer (Bagong Suyanto, 2010: 160) membedakan tiga macam tipe pellacur berdasarkan hubungannya dengan pihak pengelola bisnis pelacuran.
1. Pelacur yang bekerja sendiri tanpa calo atau majikan. Seringkali mereka beroperasi dipinggir jalan atau masuk satu kafe ke kafe yang lain.
2. Pelacur yang mempunyai calo atau beberapa calo yang saling terkait secara hirarkis. Biasanya si pelacur hanya memperoleh sebagian kecil dari uang yang dibayarkan oleh kliennya.
3. Pelacur yang dibawah naungan sebuah forum atau organisasi mapan. Contohnya klub panti pijat, tempat lokalisasi, dan hotel-hotel.
Pelacur yang membuka praktik pelayanan jasa secual di kompleks lokalisasi mereka biasanya bekerja dibawah naungan atau koordinasi seorang germo. Adapun yang dimaksud dengan germo atau mucikari, yaitu orang (laki-laki atau perempuan) yang mata pencahariannya, baik sambilan ataupun sepenuhnya menyediakan, mengadakan, atau turut serta mengadakan, membiayai, menyewakan, membuka dan memimpin serta mengatur tempat untuk praktik pelacuran, yakni dengan mempertemukan atau memungkinkan bertemunya perempuan pelacur dengan pria untuk bersetubuh. Dari pekerjaan tersebut germo menerima sebagian besar dari hasil uang yang diperoleh pelacur. Para pelacur umumnya berasal dari kawasan pedesaan. Dengan alasan-alasan yang bervariasi terbujuk dalam lembah hitam.
Sumber http://handarsubhandi.blogspot.com
0 Response to "Bentuk-Bentuk Seks Bebas Dan Pengaturannya"
Posting Komentar