Resiko Medik
Untuk setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada Resiko yang harus dihadapi. Satu-satunya jalan menghindari Resiko ialah dengan tidak berbuat sama sekali. Kalimat diatas merupakan salah satu ungkapan yang perlu kita renungkan, bahwa di dalam kehidupan, insan tidak akan pernah lepas dari ketidak sengajaan atau kesalahan yang tidak dikehendaki di dalam menjalankan profesi atau pekerjaannya. Oleh lantaran itu, untuk mencegah terjadinya Resiko yang tidak diharapkan, seorang profesional harus selalu berpikir cermat dan bertindak hati-hati biar sanggup mengantisipasi Resiko yang mungkin terjadi.
Suatu hasil yang tidak diperlukan terjadi di dalam praktik kedokteran sebetulnya sanggup disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu :
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakit atau komplikasi penyakit yang tidak ada hubungannya dengan tindakan medik yang dilakukan dokter.
2. Hasil dari suatu resiko yang tak sanggup dihindari, yaitu :
a. Resiko yang tak sanggup diketahui sebelumnya (unforeseeable). Resiko menyerupai ini memungkinkan di dalam ilmu kedokteran oleh lantaran sifat ilmu yang empiris dan sifat badan insan yang sangat bervariasi serta rentan terhadap dampak eksternal. Sebagai pola ialah syok anafilaktik.
b. Resiko yang meskipun telah di ketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi dianggap sanggup diterima (acceptable), dan telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui oleh psien untuk dilakukan, yaitu :
1) Resiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, sanggup diantisipasi, diperhitungkan, atau sanggup dikendalikan, contohnya imbas samping obat, pendarahan, dan enfeksi pada pembedahan, dan lain-lain.
2) Resiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medik yang beresiko tersebut harus dilakukan lantaran merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way) terutama dalam keadaan gawat darurat.
Di Indonesia, pengertian resiko medik tidak dirumuskan secara eksplisit dalam perundang-undangan yang ada. Namun secara tersirat, resiko medik disebutkan dalam beberapa pernyataan sebagai berikut :
1. Informed Consent atau sering disebut sebagai tindakan medik, ialah suatu dokumen tertulis yang ditanda-tangani oleh pasien, yang mengizinkan suatu tindakan tertentu pada dirinya. Persetujuan tindakan medik gres memiliki arti aturan bila ditanda-tangani setelah pasien menerima gosip lengkap mengenai tindakan yang akan dikerjakan
Dokumen ini selain dimaksudkan sebagai alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri pada pasien, juga sanggup melindungi dokter dari tuntutan pelanggaran hak atas integritas eksklusif pasien. Salah satu cara yang dilakukan untuk melindungi kepentingan dokter dari tuntutan pasien, di dalam informed consent tersebut dicantumkan bahwa dokter tidak akan dituntut dikemudian hari. Syarat yang dimaksud antara lain menyatakan bahwa pasien menyadari sepenuhnya atas segala Resiko tindakan medik yang akan dilakukan dokter, dan kalau dalam tindakan medik itu terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka pasien tidak akan melaksanakan tuntutan apapun ke pengadilan di kemudian hari. Selain itu untuk memenuhi kewajiban memberi informasi, maka dicantumkan pula pernyataan dari dokter yang menyatakan bahwa telah dijelaskan sifat, tujuan, serta kemungkinan (Resiko) akhir yang timbul akhir tindakan medik tersebut kepada pasien dan keluarganya. Dengan demikian, dokter yang bersangkutan juga menandatangani formulir persetujuan tindakan medik termaksud. Jika psien menolak dilakukannya suatu tindakan medik tertentu maka pasien dan keluarganya diwajibkan untuk mengisi Surat Pernyataan Penolakan.
2. Pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang no. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran :
a. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien harus menerima persetujuan;
b. Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien menerima klarifikasi secara lengkap;
c. Penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang-kurangnya meliputi :
1) Diagnosis dan tata cara tindakan medik;
2) Tujuan tindakan medik yang dilakukan;
3) Alternatif tindakan lain dan Resikonya;
4) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
d. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sanggup diberikan baik secara tertulis maupun secara lisan;
e. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung Resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pihak yang berhak menawarkan persetujuan.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik :
a. Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien menerima gosip yang besar lengan berkuasa perihal perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta Resiko yang sanggup ditimbulkannya.
b. Pasal 3 ayat (1) : Setiap tindakan medik yang mengandung Resiko tinggi harus dengan persetujuantertulis yang ditandantangani oleh yang hendak menawarkan persetujuan.
c. Pasal 7 ayat (2) : Perluasan operasi yang tidak sanggup diduga sebelumnya sanggup dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
4. Pernyataan Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) perihal Informed Consent
PB IDI dalam Surat Keputusannya Nomor 319/PB/A.4/88 butir (3) menyebutkan : “Setiap tindakan medik yang mengandung Resiko cukup besar mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu telah memperoleh gosip yang besar lengan berkuasa perihal perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta Resiko yang berkaitan dengannya (Inform consent)”.
Anny Isfandyarie menyebutkan beberapa hal yang berkitan dengan Resiko medik, yaitu :
1. Bahwa dalam tindakan medik selalu ada kemungkinan (Resiko) yang sanggup terjadi yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan pasien. Ketidakmengertian pasien terhadap Resiko yang dihadapinya sanggup mengakibatkan diajukannya tuntutan ke pengadilan oleh pasien tersebut.
2. Bahwa dalam tindakan medik ada tindakan yang mengandung Resiko tinggi.
3. Bahwa Resiko tinggi tersebut berkaitan dengan keselamatan jiwa pasien.
World Medical Association Statement on Medical Malpractice, yang diubahsuaikan dari World Medical Assembly Marbela-Spain, September 1992, yang dikutip oleh Herkutanto, menyebutkan bahwa resiko medik atau yang lazim disebut sebagai untoward result ialah “suatu insiden lantaran suatu hal yang tidak sanggup diperkirakan sebelumnya dan bukan akhir dari ketidakmampuan atau ketidaktahuan, untuk hal ini secara aturan dokter tidak sanggup dimintai pertanggungjawabannya” (An injury occuring in the course of medical treatment which couldn’t be foressen and was not the result of any lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is an untoward result, for which the physician shouldn’t bear any liability). Setiap tindakan medik selalu mengandung Resiko, sekecil apapun tindakannya tetap saja menjadikan resiko yang besar sehingga pasien menderita kerugian. Dalam hal terjadinya Resiko, baik yang sanggup diprediksi maupun yang tidak sanggup diprediksi, maka dokter tidak sanggup dimintakan pertanggungjawaban.
Dalam ilmu aturan terdapat adagium volontie non fit injura atau assumption of risk. Maksud adagium tersebut ialah apabila seseorang menempatkan dirinya kedalam suatu ancaman (Resiko) yang sudah ia ketahui, maka ia tidak sanggup menuntut pertanggungjawaban pada orang lain apabila Resiko itu benar-benar terjadi. Tidak sanggup menuntut pertanggungjawabn seseorang lantaran Resiko terjadi bukan lantaran kesalahan (schuld) baik sengaja maupun kelalaian. Apabila Resiko muncul pada dikala pelayanan medis, maka pasien tidak sanggup menuntut pertanggungjawaban pidana pada seorang tenaga medik.
Sumber http://handarsubhandi.blogspot.com
0 Response to "Resiko Medik"
Posting Komentar