Demokrasi Terpimpin: Klarifikasi Lengkap
Demokrasi terpimpin sanggup dilihat sebagai sistem demokrasi yang ditandai dengan adanya dominasi presiden dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Dalam sejarah, Indonesia pernah menerapkan sistem demokrasi terpimpin antara tahun 1959 – 1966. Pada dikala itu, usia negara Indonesia relatif baru. Pasca proklamasi 1945, negara tetap belum berada dalam kondisi politik yang stabil. Demokrasi terpimpin diterapkan sesudah periode demokrasi parlementer, dan sebelum masuk periode orde baru.
Postingan ini akan mengulas wacana apa itu demokrasi terpimpin, mengapa diterapkan dan bagaimana karateristiknya. Memahami wacana demokrasi terpimpin penting sebagai penggalan dari memahami sistem politik di Indonesia secara menyeluruh. Saya akan tulis beberapa narasi dan klarifikasi dalam bentuk poin wacana demokrasi terpimpin untuk memudahkan pemahaman pembaca. Simak ulasan berikut ini dengan secama.
Apa itu demokrasi terpimpin?
Di paragraf awal kita sudah mengidentifikasi adanya dominasi presiden dalam sistem demokrasi terpimpin. Pengertian formalnya pernah dirumuskan oleh ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965, yaitu sebagai berikut
”Demokrasi terpimpin yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kecerdikan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara bahu-membahu diantara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan Nasakom”.
Kerakyatan yang dipimpin dalam definisi tersebut yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh presiden. Kita melihat kata ”Nasakom” di final paragraf. Saya kira, menyelidiki latar belakang adanya kata tersebut penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan demokrasi terpimpin.
Baca juga: Pengertian Demokrasi
Nasakom yaitu kependekan dari Nasionalis, Agama, Komunis, yang dipakai oleh Bung Karno untuk mengklasifikasi tiga kekuatan besar politik pada dikala itu. Ketiganya, sanggup disebut ideologi kalo mau. Setiap partai politik mempunyai afiliasi pada salah satu diantara ketiganya. Ambisi Bung Karno yaitu menyatukan ketika kekuatan itu yang secara ideologis boleh dibilang bersaing satu sama lain.
Dengan demikian, dominasi presiden disokong oleh kekuatan nasional yang bersatu dalam bentuk nasakom. Mengapa presiden perlu tugas yang dominan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mundur sedikit ke belakang untuk melihat fase demokrasi parlementer atau politik di periode orde lama.
Latar belakang demokrasi terpimpin
Proses demokrasi parlementer pada masa orde usang dinilai telah gagal dalam menjamin stabilitas politik. Penyelenggaraan pemerintahan kacau balau dan rakyat jauh dari sejahtera. Hal ini ditandai dengan angka kemiskinan dan buta abjad yang sangat tinggi.
Beberapa penyebabnya yang diidentifikasi dalam buku-buku sejarah pemerintahan Indonesia pasca proklamasi antara lain:
- Dominasi politik fatwa yang mementingkan golongan atau partainya masing-masing.
- Absennya anggota konstituante yang bersidang dalam menetapkan dasar negara.
- Landasan sosial dan ekonomi rakyat yang tetap rendah
Jika kita memahami konteks politik pada zaman itu, kita akan mendapati bahwa sejatinya, usaha revolusi politik Indonesia masih relatif baru. Kepentingan golongan yang diutamakan oleh masing-masing partai politik mengatakan fase demokrasi yang masih jauh dari matang.
Bung Karno secara pribadi tidak merasa bahagia dengan penekanan kepentingan golongan tersebut. Maka dikeluarkanlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 wacana pembubaran Badan Konstituante hasil pemilu 1955 dan penggantian undang-undang dasar dari UU Sementara 1950 ke Undang-Undang Dasar 1945. Dekrit tersebut juga secara tidak pribadi memberi jalan diterapkannya demokrasi terpimpin di Indonesia, dimana ketegangan antara golongan harus diredam melalui tugas secara umum dikuasai seorang pemimpin yaitu presiden.
Baca juga: Demokrasi Pancasila
Masa demokrasi terpimpin
Pada perkembangannya, masa demokrasi terpimpin sanggup dideskripsikan dengan tiga karakteristik berikut ini:
- Terbatasnya tugas partai politik.
- Berkembanganya imbas PKI dan militer sebagai kekuatan sosial politik di Indonesia.
- Dominannya tugas presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Selama masa demokrasi terpimpin berlangsung, kekuasaan presiden yang secara umum dikuasai itu justru menyebabkan penyelewengan kekuasaan berdasarkan Pancasila dan Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Penyelewenagan kekuasaan tersebut besar lengan berkuasa secara pribadi pada instabilitas politik yang juga berimplikasi pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang buruk. Berikut ini beberapa pelanggaran yang sanggup disebutkan:
Pelanggaran terhadap prinsip kekuasaan kehakiman. Telah ditentukan dalam UU No. 19 Tahun 1964 bahwa demi kepentingan revolusi, presiden berhak untuk mencampuri proses peradilan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga menyebabkan kekuasaan kehakiman rentan dijadikan instrumen negara untuk menghukum pemimpin politik yang menentang kebijakan pemerintah.
Pengekangan hak-hak asasi warga negara dalam bidang politik. Hal ini ditunjukan dengan pembungkaman pers. Kebebasan pers ditekan dengan cara membungkan media masaa yang menentang kebijakan pemerintah.
Pelampauan batas wewenang presiden. Tanpa berkonsultasi dengan dewan perwakilan rakyat terlebih dahulu, presiden Bung Karno banyak menciptakan penetapan.
Pembentukan negara ekstrakonstitusional. Presiden membentuk forum kenegaraan di luar yang disebutkan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai contoh, pembentukan Front Nasional yang ternyata dimanfaatkan oleh komunis untuk mebentuk negara komunis di Indonesia.
Pengutamaan fungsi presiden. Sebagai contoh, bila dewan perwakilan rakyat dan MPR tidak berhasil mencapai janji dalam suatu persoalan, maka presiden berhak mengambil keputusan. Pemimpin DPR, MPR, dan forum negara lainnya diberi kedudukan sebagai menteri sehingga menjadi bawahan presiden. dewan perwakilan rakyat yang menolak menyetujui RAPBN yang diusulkan pemerintah dibubarkan oleh presiden.
Akhir dari demokrasi terpimpin berawal dari adanya huru-hara G 30 S yang melibatkan PKI dan militer. Bung Karno dianggap gagal dalam menyeimbangkan dua kekuatan besar tersebut sehingga pemberontakan pecah.
Demokrasi terpimpin secara ”resmi” berakhir dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang isinya memberi wewenang sepenuhnya pada Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan, yang dikenal sebagai insiden Supersemar. Sampai artikel ini ditulis, keberadaan supersemar yang orisinil masih misterius.
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "Demokrasi Terpimpin: Klarifikasi Lengkap"
Posting Komentar