Makalah Kultur Tunas Tanaman
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Penyakit ini cukup serius dan beresiko tinggi lantaran dapat menyerang insan dan mengakibatkan kematian. Lebih dari 600 juta masalah di dunia terinfeksi penyakit ini, dan mengakibatkan 1,7 – 2,5 juta orang/tahun mengalami kematian. Empat puluh persen dari jumlah tersebut terdapat di negaranegara antara lain India, Indonesia, Amerika Latin dan Afrika (WHO, 2004, dalam Gusmaini dan Nurhayati, 2007).
Menurut WHO (2004); pil kina selama ini menjadi obat yang diandalkan untuk mengatasi penyakit malaria telah resisten terhadap Plasmodium falciparum, sehingga diupayakan untuk mencari alternatif tumbuhan lain yang mampu mengatasi penyebab penyakit tersebut. Penelitian mengenai hal ini telah dilakukan di luar negeri, dan merekomendasikan bahwa salah satu tumbuhan obat yang bisa mengatasi secara efektif Plasmodium falciparum tersebut yaitu tanaman artemisia.
Artemisia terbukti efektif mengatasi penyakit malaria yang mulai kebal terhadap pil kina. Artemisia berasal dari kawasan sub tropis (iklim temprate), dan dapat tumbuh baik di kawasan tropis. Peluang pengembangan artemisia di Indonesia cukup besar. Tanaman ini mengandung senyawa terpenoid komplek, antara lain senyawa seskuiterpen lakton yang dikenal dengan artemisinin (Marco dan Barbara, 1990). Artemisinin yaitu senyawa yang efektif untuk jenis-jenis malaria yang resisten terhadap kuinin dan klorokuin serta malaria serebral yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum (Paniego dan Giuletti, 1994).
Oleh lantaran itu, dengan melaksanakan kultur tunas pada tumbuhan Artemisia ini, informasi dasar mengenai hubungan antara karakter anatomi dengan kandungan artemisinin sanggup diketahui sehingga produksi artemisinin secara in vitro dapat ditingkatkan.
1.2 Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang mendasari penyusunan makalah ini yaitu sebagai berikut :
- Zat apa yang terkandung dalam tumbuhan Artemisia sp. yang berperan sebagai obat anti malaria?
- Bagaimana karakter anatomi dari tumbuhan Artemisia sp.?
- Bagaimana cara melaksanakan kultur jaringan tumbuhan Artemisia sp. ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu sebagai berikut :
- Untuk mengetahui senyawa yang terkandung dalam tumbuhan Artemisia sp.
- Mengetahui karakter anatomi dari tumbuhan Artemisia sp.
- Mengetahui cara melaksanakan perbanyakan tumbuhan Artemisia sp. melalui kultur jaringan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kultur Jaringan
Kultur jaringan dalam bahasa absurd disebut sebagai tissue culture. Kultur yaitu budidaya dan jaringan yaitu sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Jadi, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tumbuhan menjadi tumbuhan kecil yang mempunyai sifat mirip induknya.Kultur jaringan akan lebih besar presentase keberhasilannya jikalau memakai jaringan meristem. Jaringan meristem yaitu jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dinding tipis, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Kebanyakan orang memakai jaringan ini untuk tissue culture. Sebab, jaringan meristem keadaannya selalu membelah, sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang mengatur pembelahan.
Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tumbuhan secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tumbuhan dengan cara mengisolasi cuilan tumbuhan mirip daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga cuilan tumbuhan sanggup memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tumbuhan lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan yaitu perbayakan tumbuhan dengan memakai cuilan vegetatif tumbuhan memakai media buatan yang dilakukan di tempat steril.
Menurut Mariska (2002), seleksi in vitro merupakan salah satu metode dari keragaman somaklonal tetapi lebih efektif dan efisien lantaran perubahan genetik lebih diarahkan pada sifat yang diinginkan .
Teknik kultur jaringan bahwasanya sangat sederhana, yaitu suatu sel atau irisan jaringan tumbuhan yang sering disebut eksplan secara aseptik diletakkan dan dipelihara dalam medium pada atau cair yang cocok dan dalam keadaan steril. dengan cara demikian sebaian sel pada permukaan irisan tersebut akan mengalami proliferasi dan membentuk kalus. Apabila kalus yang terbentuk dipindahkan kedlam medium diferensiasi yang cocok, maka akan terbentuk tumbuhan kecil yang lengkap dan disebut planlet. Dengan teknik kultur jaringan ini hanya dari satu irisan kecil suatu jaringan tumbuhan sanggup dihasilkan kalus yang sanggup menjadi planlet dlama jumlah yang besar.
Pelaksanaan teknik kultur jaringan tumbuhan ini berdasarkan teori sel sperti yang dikemukakan oleh Schleiden, yaitu bahwa sel mempunyai kemampuan autonom, bahkan mempunyai kemampuan totipotensi. Totipotensi yaitu kemampuan setiap sel, darimana saja sel tersebut diambil, apabila diletakkan dilingkungan yangsesuai akan tumbuh menjadi tumbuhan yang sempurna.
Teknik kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang diharapkan terpenuhi. Syarat-syarat tersebut mencakup pemilihan eksplan sebagai materi dasar untuk pembentukkan kalus, penggunaan medium yang cocok, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik terutama untuk kultur cair. Meskipun pada prinsipnya semua jenis sel sanggup ditumbuhkan, tetapi sebaiknya dipilih cuilan tumbuhan yang masih muda dan gampang tumbuh yaitu cuilan meristem, seperti: daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji dan sebagainya. Bila memakai embrio cuilan bji-biji yang lain sebagai eksplan, yang perlu diperhatikan yaitu kemasakan embrio, waktu imbibisi, temperatur dan dormansi.
2.2 Teori Dasar Kultur Jaringan
a. Sel dari suatu organisme multiseluler di mana pun letaknya, bahwasanya sama dengan sel zigot lantaran berasal dari satu sel tersebut (Setiap sel berasal dari satu sel).
b. Teori Totipotensi Sel (Total Genetic Potential), artinya setiap sel mempunyai potensi genetik mirip zigot yaitu bisa memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi tumbuhan lengkap. Teori ini mempercayai bahwa setiap cuilan tumbuhan sanggup berkembang biak.karena seluruh cuilan tumbuhan terdiri atas jaringan – jaringan hidup.
2.3 Unsur-Unsur yang Dibutuhkan Tanaman
Sebelum menguraikan cara-cara menciptakan medium kultur jaringan, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui unsur-unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur-unsur yang dibuthkan tumbuhan dikelompokkan menjadi:
1. Garam-Garam Anorganik
Setiap tumbuhan membutuhkan paling sedikit 16 unsur untuk pertumbuhannya yang normal. Tiga unsur di antaranya yaitu C,H,O yang di ambil dari udara, sedangkan 13 unsur yang lain berupa pupuk yang sanggup diberikan melalui akar atau melalui daun. Pada perbanyakan tumbuhan secara kultur jaringan. Semua unsur tersebut dibutuhkan oleh tumbuhan untuk pertumbuhannya. Ada unsur yang dibutuhkan tumbuhan dalam jumlah besar yang disebut unsur makro, ada pula yang dibutuhkan oleh tumbuhan dalam jumlah sedikit tetapi harus tersedia yang disebut unsur mikro.
2. Zat-Zat Organik
Zat-zat organik yang biasanya ditambahkan dalam medium kultur jaringan yaitu sukrosa, mio inositol, asam amino, dan zat pengatur tumbuh. Sedangkan sebagai komplemen biasanya diberi zat organik lain mirip air kelapa, ekstrak ragi, pisang, tomat, toge dan lain-lain.
B. Kegunaan Setiap Unsur Bagi Tanaman
Setelah kita mengetahui unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman, maka sebelum kita memilih unsur-unsur yang akan dipakai untuk meramu medium kultur jaringan perlu mengetahui terlebih dahulu kegunaan unsur-unsur tersebut bagi pertumbuhan tumbuhan atau jaringan tanaman.
1. Unsur Nitrogen (N)
Kegunaan unsur Nitrogen bagi tumbuhan yaitu untuk menyuburkan tanaman, alasannya unsur N sanggup membentuk protein, lemak dan banyak sekali persenyawaan organik yang lain.
2. Unsur Fospor (P)
Dibutuhkan oleh tumbuhan untuk membentuk karbohidrat. Maka, unsur P ini dibutuhkan secara besar-besaran pada waktu pertumbuhan benih.
3. Unsur Kalium (K)
Memperkuat untuk badan tanaman, lantaran unsur ini sanggup dipakai untuk memperkuat serabut-serabut akar, sehingga daun, bunga dan buah tidak gampang gugur.
4. Unsur Sulpur (S)
Unsur ini dipakai untuk proses pembentukan anakan sehingga pertumbuhan dan ketahanan tumbuhan terjamin.
5. Unsur Kalsium (Ca)
Digunakan untuk merangsang pembentukkan bulu-bulu akar, mengeraskan batang dan merangsang pembentukkan biji.
6. Unsur Magnesium (Mg)
Digunakan tumbuhan sebagai materi mentah untuk ppembentukkan sejumlah protein.
7. Unsur Besi (Fe)
Unsur ini dipakai sebagai penyangga (chelati agint) yang sangat penting untuk menyagga kestabilan pH media selama dipakai untuk menumbuhkan jaringan tanaman.
8. Unsur Sukrosa
Unsur ini sering ditambahkan pada medium kultur jaringan sebagai sumber energi yang diharapkan untuk induksi kalus.
9. Unsur Glukosa atau Fruktosa
Unsur ini sanggup dipakai sebagai unsur pengganti sukrosa lantaran sanggup merangsang beberapa jaringan.
10. Unsur Mio-inositol
Penambahan unsur ini pada medium bertujuan untuk membantu diferensiasi dan pertumbuhan sejumlah jaringan.
11. Unsur Vitamin
Vitamin-vitamin yang sering dipakai dalam mediumklutur jaringan antara lain yaitu Thiamin. Thiamin yaitu vitamin esensial yang dipakai untuk medium kultur jaringan.
12. Unsur Asam Amino
Unsur ini diunakan oleh tumbuhan untuk proses pertumbuhan dan diferensiasi sel. Kebutuhan unsur asam amino oleh tumbuhan berbeda.
13. Unsur Zat Pengatur Tumbuh.
Zat pengatur tumbuh pada tumbuhan yaitu senywa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit sanggup mendukung, menghambat dan sanggup merubah proses fisiologi tumbuhan. Zat pengatur tumbuh dalam tumbuhan terdir dari lima kelompok yaitu, Auksin, Sitokinin, Giberelin, Etilen dan Inhibitor dengan ciri khas dan efek yang berlainan terhadap proses fisiologis.
Zat pengatur tumbuh sangat diharapkan sebagai komponen medium bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dalam medium, pertumbuhan sangat terhambat bahkan tidak akan tumbuh sama sekali.
2.4 Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tumbuhan dengan teknik kultur jaringan yaitu :
1) Pembuatan media
2) Inisiasi
3) Sterilisasi
4) Multiplikasi
5) Pengakaran
6) Aklimatisasi
2) Inisiasi
3) Sterilisasi
4) Multiplikasi
5) Pengakaran
6) Aklimatisasi
- Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang dipakai tergantung dengan jenis tumbuhan yang akan diperbanyak. Media yang dipakai biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diharapkan juga materi komplemen mirip agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang dipakai juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.
- Inisiasi yaitu pengambilan eksplan dari cuilan tumbuhan yang akan dikulturkan. Bagian tumbuhan yang sering dipakai untuk acara kultur jaringan yaitu tunas.
- Sterilisasi yaitu bahwa segala acara dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan memakai alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu memakai etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melaksanakan kultur jaringan juga harus steril.
- Multiplikasi yaitu acara memperbanyak calon tumbuhan dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang mengakibatkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.
- Pengakaran yaitu fase dimana eksplan akan memperlihatkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh basil ataupun jamur. Eksplan yang tercemar akan memperlihatkan tanda-tanda mirip berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau wangi (disebabkan bakteri).
- Aklimatisasi yaitu acara memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memperlihatkan sungkup. Sungkup dipakai untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit lantaran bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar.
2.5 Faktor Lingkungan
- Keasaman (pH)
Keasaman pH yaitu nilai derazat keasaman atau kebasaan dari larutan dalam air. Keasaman (pH) suatu larutan menyatakan kadar dari ion H dalam larutan. Nilai di dalam pH berkisar antara 0 (sangat asam) hingga 14 (sangat basa), sedangkan titk netral yaitu pH pada 7.
Sel-sel tumbuhan yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan mempunyai toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimal antara pH 5,0-6,0. Bila eksplan mulai tumbuh, pH dalam lingkungan kultur jaringan tumbuhan umumnya akan naik apabila nutrein habis terpakai.
Pengukuran pH sanggup dilakukan dengan memakai pH meter, atau jikalau menginginkan yang lebih simpel dan murah sanggup dipakai kertas pH. Bila ternyata pH medium masih kurang normal, maka sanggup ditambah KOH 1-2 tetes. Sedangkan apabila pH melampaui batas normal dinetralkan dengan penambahan HCL.
- Kelembapan
Kelembapan relatif (RH) lingkungan biasanya mendekati 100%. RH sekeliling kultur mempengaruhi teladan pengembangan. Jadi, pengaturan RH pada keadaan tertentu memerlukan suatu bentuk diferensiasi Khusus.
- Cahaya
Intensitas cahaya yang rendah sanggup mempertinggi embriogenesis dan organogenesis. Cahaya ultra violet sanggup mendorong pertumbuhan dan pembentukan tunas dari kalus tembakau pada intesitas yang rendah.
4. Temperatur
Temperatur yang dibutuhkan untuk sanggup terjadi pertumbuhan yang optimum umumnya yaitu berkisar di antara 200-300C. Sedangkan temperatur yang optimum untuk pertumbuhan kalus endosperm yaitu sekitas 250C.
Kegunaan utama dari kultur jaringan yaitu untuk mendapat tumbuhan gres dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama persis dengan induknya. Dari teknik kultur jaringan tumbuhan ini diharapkan juga memperoleh tumbuhan gres yang bersifat unggul. Secara lebih rinci dan terang berikut ini akan dibahas secara khusus kegunaan dari kultur jaringan terhadap banyak sekali ilmu pengetahuan.
2.6 Manfaat Kultur Jaringan
Kultur jaringan tumbuhan telah dikenal banyak orang sebagai perjuangan mendapat varietas gres (unggul) dari suatu jenis tumbuhan dalam waktu yang relatif lebih singkat dari pada dengan cara pemuliaan tumbuhan yang harus dilakukan penanaman secara berulang-ulang hingga beberapa generasi. Untuk mendapat varietas gres melalui kultur jaringan sanggup dilakukan dengan cara isolasi protoplas dari 2 macam varietas yang difusikan. Atau dengan cara isolasi khloroplas suatu jenis tumbuhan yang dimasukkan kedalam protoplas jenis tumbuhan yang lain, sehingga terjadi penggabungan sifat-sifat yang baik dari kedua jenis tumbuhan tersebut hingga terjadi hibrid somatik.
Cara yang lain yaitu dengan menyuntikkan protoplas dari suatu tumbuhan ketanaman lain. Contohnya transfer khloroplas dari tumbuhan tembakau berwarna hijau ke dalam protoplas tumbuhan tembakau yang albino, hasilnya sangat memuaskan lantaran tumbuhan tembakau menjadi hijau pula. Contoh lain yaitu keberhasilan mentrasnfer khloroplas dari tumbuhan jagung ke dalam protoplas tumbuhan tebu hasilnya memuaskan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perbanyakan Tanaman Artemisia annua Secara In Vitro
Menurut Aryanti (2011), sejak klorokuin tidak lagi efektif mengobati malaria, maka pencarian obat gres pengganti klorokuin telah diupayakan. Obat gres tersebut yaitu obat malaria berbasis artemisinin yang dikenal dengan Artemisinin Combine Theraphy (ACT). Artemisinin termasuk kelompok sesquiterpen lakton, senyawa ini hanya terdapat di dalam tumbuhan Artemisia sp. dan kandungannya sangat rendah.
Klasifikasi:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Artemisia
Spesies : Artemisia annua
Tanaman Artemisia annua L. merupakan tumbuhan yang tergolong dalam suku Asteraceae. Daunnya berbentuk oval, lonjong, panjang sekitar 10-18 cm dan lebar 5-15 cm, ujung runcing, pangkal tumpul. Daun atau seluruh cuilan tumbuhan mengandung saponin, flavonoid, polyfenol, dan minyak atsiri. Menurut Simon et al. (1990), Artemisia merupakan penghasil artemisinin dan minyak esensial. Artemisinin merupakan produk metabolit sekunder yang mempunyai keunggulan antara lain cepat menghilangkan tanda-tanda klinis dan cepat mengeliminasi benalu dalam darah.
Artemisinin telah usang dipakai sebagai obat anti malaria di Cina dan Vietnam lantaran tidak memperlihatkan imbas samping (Klayman 1985). Penggunaan artemisinin sebagai obat anti malaria merupakan suatu langkah pengobatan yang efektif lantaran dianggap tidak menjadikan imbas samping yang berat mirip kina atau klorokuin yang selama ini digunakan. Pada ketika ini beberapa benalu malaria mirip Plasmodium falciparum (penyebab malaria tropika) telah resisten terhadap klorokuin sehingga perlu dikembangkan obat anti malaria lainnya.
Artemisinin yaitu senyawa yang efektif untuk jenis-jenis malaria yang resisten terhadap kuinin dan klorokuin serta malaria serebral yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum (Paniego dan Giuletti, 1994). Turunan dari artemisinin juga sanggup berfungsi sebagai pestisida (Duke, 1991). Menurut van Geldre et al. (1997) artemisinin yang dihasilkan oleh A. annua disintesis di akar dan diakumulasikan di daun dan cuilan tumbuhan lainnya. Kandungan artemisinin daun mencapai 89% dari kandungan total yang terdapat pada tanaman. Daun A. annua tertutup oleh trikoma kelenjar dan trikoma non-kelenjar (Duke dan Paul, 1993), pada ruang subkutikular trikoma kelenjar tersebut artemisinin diakumulasikan (Duke et al., 1994).
Produksi artemisinin dari A. annua dipengaruhi oleh iklim, kondisi tanah, umur tumbuhan (Klayman, 1985) dan variasi genetik (Paniego dan Giuletti, 1994). Untuk keperluan ekstraksi, 1 ton daun A. annua kering sanggup menghasilkan 5-6 kg artemisinin, keperluan ini sanggup dipenuhi dengan menanami lebih dari 40 ha lahan
pertanian (Hien dan White, 1993). Teknik kultur jaringan khususnya kultur tunas yaitu salah satu alternatif untuk penyediaan bibit A. annua dengan kualitas dan kuantitas yang sanggup dijaga.
Pemanfaatan kultur jaringan untuk perbanyakan dan produksi metabolit sekunder telah dilakukan terhadap beberapa spesies Artemisia di antaranya pada A. judaica, memakai media MS cair dan bioreaktor untuk multiplikasi tunas (Liu et al. 2003a). Liu et al. (2003) melaksanakan multiplikasi pada A. annua untuk produksi metabolit sekunder pada media MS yang diperkaya dengan BA 0,5 mg/l+ NAA 0,05 mg/l.
Menurut George dan Sherrington (1984) perbanyakan tumbuhan secara in vitro memiliki banyak laba di antaranya (1) materi tumbuhan yang dipakai lebih kecil sehingga tidak merusak pohon induk, (2) lingkungan tumbuh dalam kultur in vitro aseptik dan terkendali, (3) kecepatan perbanyakannya tinggi, (4) sanggup menghasilkan bibit bebas penyakit dari induk yang sudah mengandung patogen internal, dan (5) membutuhkan tempat yang relatif kecil untuk menghasilkan bibit dalam jumlah besar.
Penelitian perbanyakan secara in vitro yang dilakukan oleh Yunita dan Lestari (2008) ini terdiri beberapa tahap yang berurutan, yaitu perkecambahan biji, multiplikasi tunas, perakaran, dan aklimatisasi planlet. Inkubasi biakan dilakukan pada 25+2oC, intensitas cahaya 1.000 lux selama 16 jam. Biji dikecambahkan pada media dasar MS (Murashige dan Skoog 1962) dan ½ MS ditambah vitamin grup B (asam nikotinat 0,5 mg/l, thiamin HCl 0,1 mg/l, piridoksin 0,5 mg/l, glisin 2 mg/l), mio-inositol 100 mg/l, sukrosa 3%, dan phytagel 0,2%. Kecambah yang telah tumbuh dipilih yang mempunyai ukuran seragam kemudian disubkultur ke dalam media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh benzil amino purin (BAP) pada konsentrasi 0, 0,1, 0,3, dan 0,5 ppm. Masing-masing perlakuan diulang 5 kali. Setelah 7 ahad masa tanam dilakukan pengamatan terhadap jumlah tunas, tinggi tunas, dan jumlah buku. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan uji lanjut BNJ.
Pada percobaan multiplikasi tunas, eksplan yang dipakai yaitu tunas in vitro dari percobaan pertama. Batang dipotong sepanjang +1 cm (memiliki 2 buku) kemudian ditanam pada media dasar MS dengan penambahan BAP 0, 0,1, 0,3, dan 0,5 ppm. Masing-masing perlakuan diulang 5 kali. Peubah yang diamati yaitu jumlah tunas, tinggi, dan jumlah buku tanaman. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan uji lanjut BNJ.
Pada percobaan induksi perakaran, tunas dengan tinggi lebih dari 5 cm diisolasi pucuknya kemudian ditanam ke media perakaran, yaitu media dasar MS dengan penambahan IBA 0,5, 1,0, 1,5, dan 2,0 ppm. Peubah yang diamati yaitu persentase eksplan berakar, jumlah, panjang, dan visualisasi akar. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan uji lanjut BNJ.
Pada tahap selanjutnya, planlet yang dihasilkan diaklimatisasi di rumah kaca. Sebanyak 30 planlet ditanam dalam polibag yang berisi tanah dan pupuk sangkar dengan perbandingan 1 : 1. Agar bibit sanggup menyesuaikan diri maka bibit disungkup terlebih dahulu selama 1-2 minggu, dan sehabis bibit memperlihatkan pertumbuhan yang baik maka sungkup dibuka.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Yunita dan Lestari (2008) ini, sanggup disimpulkan bahwa media terbaik untuk memacu multiplikasi tunas dari eksplan kecambah yaitu MS dengan penambahan BAP 0,3 ppm, demikian pula untuk eksplan tunas in vitro. Media yang terbaik untuk perakaran, yaitu pada media MS dengan penambahan IBA 1 ppm.
3.2 Karakter Anatomi Daun dari Kultur Tunas Artemisia annua
Berdasarkan penelitian karakter anatomi daun dari kultur tunas Artemisia annua L. yang telah dilakukan oleh Juliarni, Dewanto, dan Ermayanti (2007), A. annua memiliki tipe daun bifasial yaitu daun yang mempunyai jaringan palisade hanya pada salah satu sisi. Walaupun ukuran dan bentuk jaringan penyusun daun agak berbeda, secara umum daun dari kelima klon tunas A. annua tersusun atas jaringan yang sama yaitu terdiri atas lapisan epidermis atas dan bawah, jaringan mesofil yang terdiferensiasi menjadi jaringan palisade dan bunga karang. Trikoma merupakan penjuluran dari epidermis (Fahn, 1990). Terdapat dua macam trikoma pada daun tumbuhan yaitu trikoma kelenjar dan trikoma non-kelenjar.

Gambar 1. Trikoma kelenjar (a) dan non kelenjar (b) pada daun kelima A. Annua (Juliarni, et al., 2007)

Gambar 2. Trikoma kelenjar dan non-kelenjar pada daun A. Annua (Juliarni, et al., 2007)
Masing-masing trikoma mempunyai fungsi yang berbeda, trikoma non-kelenjar antara lain berfungsi sebagai penghalang masuknya patogen melalui stomata, sedangkan trikoma kelenjar berfungsi mengeluarkan metabolit sekunder (Fahn, 1979). Trikoma kelenjarnya terdiri atas sepuluh sel (multiseriat) mencakup dua sel basal, dua sel tangkai dan enam sel sekretori (Duke and Paul, 1993) yang tersebar merata pada helai daun. Trikoma non kelenjar juga merupakan trikoma multiseriat dengan kepala bercabang dua ibarat karakter ”T”.
Menurut Duke et al. (1994) senyawa artemisinin diakumulasikan di ruang subkutikular trikoma kelenjar daun, selanjutnya berdasarkan Ferreira dan Janick (1995) kutikula yang menutupi tiga pasang sel teratas dari sel sekretori (sel apikal) akan terpisah dari dinding sel selama perkembangan trikoma kelenjar dan akan membentuk suatu kantung yang terisi oleh artemisinin dan zat bioaktif lainnya. Setelah menggelembung maksimal, kantung tersebut pecah dan mengeluarkan isinya.
3.3 Peningkatan Kandungan Artemisinin Melalui Mutasi Tunas In Vitro Tanaman Obat Artemisia cina
Mutasi induksi memakai sinar gamma telah berhasil memperbaiki sifat tumbuhan padi (Sobrizal and Ismachin, 2006) dan tumbuhan obat tapak dara (Syukur, 2000) dengan sifat lebih baik daripada tumbuhan induknya. Sinar gamma yaitu gelombang elekromagnetik dan akan mengalami eksitasi dan ionisasi, energi dari proses eksitasi akan mengenai molekul air pada tumbuhan ketika diiradiasi. Molekul air akan mengalami hidrolisis dan menghasilkan spur tidak stabil berupa oksidator dan reduktor yang akan menyerang DNA dan kromosom sehingga menjadikan perubahan sifat pada tumbuhan yang dikenainya. Perubahan sifat yang diharapkan yaitu tumbuhan dengan sifat lebih baik daripada tumbuhan induknya.
Hal ini melatarbelakangi Aryanti (2011) melaksanakan penelitian untuk meningkatkan kandungan artemisinin melalui mutasi tunas in vitro tumbuhan obat Artemisia cina. Pada penelitian ini telah dilakukan iradiasi terhadap tunas in vitro tumbuhan obat Artemisia cina dengan tujuan mendapat tumbuhan gres dengan morfologi lebih baik, berbunga lebih awal dan mengandung artemisinin lebih tinggi daripada tumbuhan induknya. Galur mutan terpilih telah dilakukan penanaman pada kawasan dengan ketinggian dibawah 500 m di atas permukaan maritim (dpl).
Artemisia cina merupakan tumbuhan semak menahun dengan ketinggian hanya hingga 15 cm dan berdaun menjari berwarna hijau, daun beraroma khas, bunga berwarna keputihan dan muncul umumnya pada umur 4 bulan pada kawasan dengan ketinggian 1000 m dpl (Aryanti, 2011).
Bahan yang dipakai pada penelitian ini yaitu tunas in vitro Artemisia cina yang dikultur pada media Murashige & Skoog (MS) tanpa penambahan hormon. Iradiasi dilakukan di Iradiator Gamma Chamber dengan takaran 10 Gy. Iradiasi dilakukan terhadap tunas in vitro berumur 2 minggu, setiapbotol terdiri dari 5 tumbuhan dan diharapkan 40 botol untuk mendapat 200 eksplan iradiasi.
Penanaman di Lahan Percobaan Eksplan iradiasi selanjutnya diamati dan di sub kultur pada media MS tanpa hormon dan diseleksi hingga jadinya di aklimatisasi dan ditanam pada lahan percobaan. Tanaman selama di lahan percobaan diamati berupa jumlah cabang, luas daun, tinggi tanaman, persentase tumbuhan berbunga dan kandungan artemisinin dari tumbuhan umur 4 bulan. Penanaman dilakukan pada lahan ukuran 4 x 5 m dengan jarak tanam 0,5 x 1 m dengan 3 kali ulangan untuk setiap galur. Lokasi tanam di kawasan Bogor dengan ketinggian sekitar 300 m dpl.
Penetapan Kadar artemisinin ditetapkan mengikuti metode Sohly yang dimodifikasi yaitu penetapan kadar pada fraksi etil asetat memakai alat KCKT dengan kolom Bondapak dan pelarut asetonitril/air (7/3). Artemisinin murni dipakai sebagai baku pembanding untuk memutuskan kadar artemisinin pada setiap galur mutan.
Dari hasil penelitian Aryanti (2011) ini sanggup disimpulkan bahwa telah terjadi perbaikan sifat tumbuhan pada tunas A.cina yang diiradiasi dengan takaran 10 Gy dengan tinggi tanaman, luas daun dan persentase tumbuhan berbunga bervariasi. Telah terjadi peningkatan kadar artemisinin pada galur mutan yaitu lebih tinggi daripada tumbuhan induknya, kadar tertinggi dicapai 21,03 mg/g pada galur mutan A32a2 dibanding tumbuhan induknya hanya 0,40 mg/g.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
- Artemisinin termasuk kelompok sesquiterpen lakton, senyawa ini hanya terdapat di dalam tumbuhan Artemisia sp. dan kandungannya sangat rendah.
- Artemisinin merupakan produk metabolit sekunder yang mempunyai keunggulan antara lain cepat menghilangkan tanda-tanda klinis dan cepat mengeliminasi benalu dalam darah.
- Penggunaan artemisinin sebagai obat anti malaria merupakan suatu langkah pengobatan yang efektif lantaran dianggap tidak menjadikan imbas samping yang berat mirip kina atau klorokuin yang selama ini digunakan.
- Artemisinin yaitu senyawa yang efektif untuk jenis-jenis malaria yang resisten terhadap kuinin dan klorokuin serta malaria serebral yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum.
- Media terbaik untuk memacu multiplikasi tunas dari eksplan kecambah Artemisia annua adalah MS dengan penambahan BAP 0,3 ppm, demikian pula untuk eksplan tunas in vitro. Media yang terbaik untuk perakaran, yaitu pada media MS dengan penambahan IBA 1 ppm.
- Kandungan artemisinin pada daun mencapai 89% dari kandungan total yang terdapat pada tanaman. Senyawa artemisinin diakumulasikan di ruang subkutikular trikoma kelenjar daun.
- Pada penelitian mutasi tunas in vitro Artemisia cina terjadi perbaikan sifat tumbuhan yang diiradiasi dengan takaran 10 Gy dengan tinggi tanaman, luas daun dan persentase tumbuhan berbunga bervariasi. Telah terjadi peningkatan kadar artemisinin pada galur mutan yaitu lebih tinggi daripada tumbuhan induknya, kadar tertinggi dicapai 21,03 mg/g pada galur mutan A32a2 dibanding tumbuhan induknya hanya 0,40 mg/g.
4.2 Saran
Perlu dikembangkannya kultur jaringan tumbuhan Artemisia sp. dimana senyawa artemisinin-nya sangat efektif sebagai obat anti malaria pengganti kina atau klorokuin. Mengingat banyaknya penderita penyakit malaria, besarnya kebutuhan obat antimalaria hingga ketika ini dan mengindikasikan bahwa kebutuhan materi baku artemisinin yang besar, seluruhnya masih diimpor, maka upaya pengembangan budidaya artemisia sangat strategis.
DAFTAR PUSTAKA
Aryanti, 2011, Peningkatan Kandungan Artemisinin Melalui Mutasi Tunas In Vitro Tanaman Obat Artemisia Cina, Majalah Farmasi Indonesia, Vol. 22, No. 1,Hal 60 – 64.
Duke, S.O., R.N. Paul. 1993. Development and Fine Structure of the Glandular Trichomes of Artemisia annua L. Int. J.Plant Sci. 154:107-118.
Duke. 1994. Localization of Artemisinin and Artemisitene in Foliar Tissues of Glanded and Glandless Biotypes of Artemisia annua L. Int. J. Plant Sci. 155: 365-372.
Fahn, A. 1979. Secretory Tissues in Plants. Academic Press Inc. London.
Fahn, A. 1990. Plant Anatomy. 4th Ed. Butterworth- Heinemann. London.
Ferreira, J.F.S, J. Janick. 1995. Floral morphology of Artemisia annua With Special Reference to Trichomes. Int. J. Plant Sci. 156: 807-815.
Gusmaini dan Nurhayati, H., 2007, Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia annua L. di Indonesia, Perspektif , Vol. 6 No. 2. Hal 57 – 67.
Juliarni, Dewanto, H.A., dan Ermayanti, T.M., 2007, Karakter Anatomi Daun dari Kultur Tunas Artemisia annua L., Bul. Agron. (35) (3), Hal 225 – 232.
Klayman, D.L. 1985. Quinghaosu (artemisinin): An Antimalarial Drug from China. Sci. 228:1049-1055.
Marco, J.A., O. Barbera. 1990. Natural Products from the Genus Artemisia. In : Atta-ur-Rahman (ed). Studies in Natural Products Chemistry. Elsevier. Amsterdam. p. 201- 264.
Mariska, I., 2002, Perkembangan Penelitian Kultur In Vitro pada Tanaman Industri, Pangan, dan Hortikultura, Buletin AgroBio 5(2):45-50.
Paniego, N.B, A.M Giuletti. 1994. Artemisia annua L. : Dedifferentiated and Differentiated Cultures. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 36: 163-168.
Simon, J.E., D. Charles, E. Cebert, L. Grant, J. Janick, and A. Whipkey. 1990. Artemisia annua L. Promising Aromatic and Medicinal. In Janick, J. and J.E. Simon (Eds.). Advances in New Crops. Timber press, Portland, OR. p. 522-526.
Sobrizal dan Ismachin, M., 2006. Peluang Mutasi Induksi Pada Upaya Pemecahan Hambatan Peningkatan Produksi Padi. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 2(1), 50-64.
Syukur, S., 2000. Efek Iradiasi Gamma Pada Pembentukan Variasi Klon dari Chataranthus roseus. Prosiding APISORA, BATAN – Jakarta, 33-37.
WHO. 2004. More than 600 Million People Need Effective Malaria Treatment to Prevent Unacceptably High Death Rates. Press Release WHO/29, 22 April.
Yunita, R dan Lestari, E.G., 2008, Perbanyakan Tanaman Artemisia annua Secara In Vitro, Jurnal AgroBiogen, Vol. 4, No. 1, Hal: 41-44.
0 Response to "Makalah Kultur Tunas Tanaman"
Posting Komentar